Jingga Senja
Cerpen: Yant Kaiy
ANAK jadah, haram, najis, menjijikkan, dan entah apalagi masyarakat
memberikannya julukan. Betapa menyakitkan kalimat itu menjadi miliknya. Kendati
dirinya tahu, bahwa anak seorang pelacur tak mungkin hidup sejajar dengan
lingkungan baik-baik.
Tujuh belas tahun meninggalkan ibunya, dan kembali lagi setelah merasa puas. Betapa tersiksa dirinya dan harus menempuh kegetiran kembali setelah orang yang dicintainya pergi untuk selama-lamanya.
Ibunya hanya meninggalkan pesan untuk mencari ayahnya. Liku-liku
kehidupannya teramat menyiksa. Tentu tidak mudah menemukan dan mendapatkan
harapan yang diimpikannya, walaupun kesabaran sudah dibentangkan.
Ucapan terima kasih buat :
-
Herry Santoso, Ketua Umum Sanggar ADINDA (Ajang Dedikasi Intelektual Muda) Pasongsongan-Sumenep.
-
Alm. MH. Surie Bussolli, Koordinator FKSP (Forum Komunikasi Seniman
Pamekasan).
-
Juga buat sahabat-sahabat yang telah membantu saya dalam
menyelesaikan vovel ini.
Pasongsongan
– Sumenep, Medio Oktober 1994
Surat Ibu
Pagi yang mendung. Di sebuah terminal. Sengaja beristirahat,
menenangkan semuanya, setelah semalaman di guncang-guncang bus, begitu
melelahkan bahkan memusingkan. Kuteguk tiga kali minuman yang kubeli barusan.
Terasa segar. Kini mataku tak mengantuk lagi. Pandanganku jadi bergairah.
Begitu banyak orang yang lalu-lalang di situ, seperti tujuh belas tahun lalu,
ketika aku meninggalkan kota ini. Tak banyak berubah. Hanya warung-warung kecil
yang digusur digantikan pertokoan. Dengan dalih; demi kecantikan kota.
Rakyat kecil
memang harus jadi korban, demi terwujudnya sebuah maksud dan tujuan. Mulai jaman
dulu hingga kini. Sejarah telah membuka mata-hati
manusia. Tak dapat dibohongi! Entah sampai kapan. Barangkali hingga kiamat
menjelang. Betapa sengsaranya rakyat jelata, seperti... O, brengsek!
Seluruh hidupku
diselimuti kebrengsekan memang. Tak ada yang murni. Semuanya telah tercemar.
Keruh dan menjijikkan. Tapi aku masih sanggup bertahan di tengah debur
kebrengsekan itu.
Sekian lama aku
berusaha menghentikan kebrengsekan itu. Namun amat pelik. Dan, baru saat ini
aku memulainya. Mungkin akan berhasil, atau sebaliknya? Aku hanya bisa berharap.
Selebihnya impian-impian nan indah yang menina-bobokan. Impian-impian yang melahirkan keresahan. Begitu kuat mencengkram.
Terus terang, manusia
seringkali tidak kuasa melawan
kebrengsekan. Tapi, kalau aku tak mau mengambil sikap brengsek, menerima apa
adanya, lantas kenapa aku membiarkan Ibu dikerubungi para lelaki dan digerayangi
tubuhnya tiap hari. Aku tidak rela. Demi Allah, aku tidak ikhlas. Walau
demikian, aku tak bisa berbuat banyak. Nuraniku berontak. Aku tidak boleh pasrah
saja.
Tubuhku
sendiri sudah sejak dalam kandungannya dialiri dosa-dosa. Nenekku, Ibuku
adalah pelacur. Maka, tiap hari aku memprotesnya. Tapi tak mampu
menghentikannya. Kecuali, aku harus meninggalkannya. Sengaja kuambil jalan
brengsek itu, biar Ibu mau berpikir dua kali tentang dunia yang dijalaninya.
“Aku juga tak rela
bila kau punya pekerjaan seperti Ibu.
Biarlah Ibu
dan Nenek
yang melakukan ini. Kau jangan! Ibu ingin kau jadi wanita yang baik, punya
suami dan anak,” tukasnya suatu senja ketika kulontarkan pernik-pernik
nuraniku. Kala itu Ibu masih tampak
cantik, lincah, dan binal.
Dari uang haramnya
aku makan, minum, dan sekolah sampai SMA. Beli baju, sepatu, perhiasan,
semuanya hasil tubuhnya. Salahkah bila aku meninggalkannya? Di saat usianya
kian senja. Tapi tetap menggairahkan.
Aku memang
brengsek. Sebelum kepergianku, aku sampai memaki-makinya, sebagai protesku. Ibu
hanya bisa menangis dan melepaskan kepergiaanku. Air susu kubalas air tuba.
Kini aku datang,
tiada lain ingin menghapus kebrengsekan itu, walau terlambat, lebih baik
ketimbang tidak sama sekali.
Segera kupanggil
taksi, sebelum terik memanggang bumi. Aku dibawanya pada sebuah tempat masa
lalu. Ternyata telah banyak berubah. Lebih bagus dan lebih padat. Kususuri gang
demi gang, memusingkan. Tidak mengenalnya lagi, tidak seperti tujuh belas tahun
lalu, kabar Ely saat kembali bekerja. Hanya Ely teman sekerjaku yang berasal
dari kota yang sama. Bahkan orang-orang yang menghuninya kian banyak. Mungkin
lima kali lipat. Peningkatan yang drastis.
Setelah agak lama
berjalanan mengeliling komplek prostitusi,
aku bertanya pada salah seorang penghuni di
situ. Aku yakin pada wanita lacur ini akan dapat membantuku. Sebab aku
menemukan kilatan kejujuran. Memancar dari air mukanya.
“Kalau Bu Sutarti sudah
berhenti. Kedudukannya saat ini digantikan anaknya, Eva,” jelasnya sambil
mengibaskan rambutnya. Rupanya sedang menunggu tamu.
“Sudah
lama pindah?” tanyaku sambil membeli air mineral kemasan.
“Sekitar
dua tahun yang lalu,” pintasnya dan mengembalikan uang kembalian padaku.
Kemudian
ia memberitahuku alamat Eva.
Eva, bisikku dalam
hati. Tampaknya ia melanjutkan profesi ibunya. Aku masih belum percaya.
Sehubungan ia teman sekolah dan bermainku. Dan, pernah kami mencela pekerjaan
ibu kami. Tapi mengapa Eva menerjuni karier maksiat itu? Apakah tiada jalan
lain?
Segera aku
mencarinya. Begitu sulit juga menemukan tempatnya. Tapi setelah bertanya
berulangkali. Sampai juga aku.
Kami saling
berpelukan, melepas rindu. Pertemuan yang amat membahagiakan.
“Kamu masih
kelihatan cantik, Nit,” pujinya dengan senyum yang khas. Senyum yang pernah
akrab dengan masa laluku. Senyum yang membuat kami
berkeinginan meninggalkan ibu kami.
“Kau
juga. Ev.”
“Ngomong-ngomong
kau sudah punya anak berapa?”
“Masih
belum.”
“Maaf
kalau pertanyaanku…”
“Nggak
apa-apa,” potongku demi mencairkan suasana.
Betapa banyak
rencana kami setelah lulus SMA. Namun Eva terlau cinta sama ibunya, sehingga ia
tak kuasa meninggalkannya. Tidak sepertiku, yang terlalu nekad, menjauh dari
dunia remang-remang, tempat Ibu memasang
perangkap bagi lelaki berduit.
Lalu kami saling
bercerita, saling bercanda, tertawa, terharu. Tapi aku tak bertanya yang
menyinggung perasaanya. Aku tak ingin membuat perdebatan. Biarlah Eva hidup
pada dunianya. Dunia tempat
mengais rejeki yang hitam. Toh, itu
haknya, keinginannya. Aku tak pantas mengingatkannya. Bukankah Ibu juga tak
pernah menggubris peringatanku. Barangkali sudah garis hidupnya di situ.
Setelah puas
kerinduan kami terobati, Selanjutnya kutanyakan tentang ibuku.
“Ibumu sudah
meninggal, Nit. Ia hanya menitipkan ini padaku,” ujar
Eva dengan nada penuh duka. Eva mengulurkan surat itu.
Entah mengapa air
mata ini tak mengalir. Aku tak mau pura-pura. Aku sudah terbiasa dengan lara.
Berulangkali aku ditempa kehidupan getir dan menyakitkan. Aku tak mengeluh.
Lantaran kutahu orang lain paling hanya mencibir sikapku. Dari sinilah
barangkali air mata ini tak mau keluar, walau dipaksakan.
Seperti kala
teman-teman SMA-ku yang tiap hari mengolok-olokku, menghinaku, mencemoohku,
mengucilkanku, atau melemparkan kata-kata kotor, lantaran aku anak pelacur.
Begitu menyakitkan memang. Dan, aku sanggup bertahan, sanggup menguasai emosi
diri. Meredam aib penuh optimistik, bahwa aku harus tidak seperti Ibu.Ya, aku
masih punya banyak waktu untuk berubah. Tinggal itikad dan ikhtiar. Aku yakin sepenuhnya kalau kelak aku sanggup.
Dari kepedihan
yang menyayat hati, aku terus merangkak; dari sekian banyak vonis tersebut,
terlalu mengguncang hidupku sebagai gadis remaja kala itu.
Pahit dan getir menampar hidupku terlalu sering. Hatiku terkoyak. Jiwaku
seperti dikuliti. Dan kini, hidupku
terlalu kebal terhadap tikaman iba.
Kutinggalkan Eva
yang sudah punya anak itu.
Kusobek surat Ibu
itu. Rupanya Ibu menulis surat ini lima tahun yang lalu, ketika usiaku menginjak
tiga puluh satu tahun. Persis putusnya cintaku dengan pria Kalimantan, Sugeng.
Padahal kami sudah merencanakan pernikahan. Tapi, setelah Sugeng tahu
siapa aku,
anak seorang pelacur, maka semuanya gagal. Aku pun tak bersedih. Tidak juga
menangis seperti para gadis yang ditinggalkan kekasihnya. Sebab
kegagalan itu peristiwa biasa saja.
“Nita anakku....”
begitu Ibu mengawali
suratnya. Aku mulai serius menyimaknya.
“Kepergianmu
adalah awal kesendirian Ibu. Dan aku
bertahan pada kerinduan-kerinduan yang membelengu rasa bersalah terhadapmu. Ibu
mengakui bahwa kau selama di sisiku sesungguhnya sangat tersiksa. Untuk itu, Ibu
senantiasa berdoa untukmu, semoga kau menjadi wanita yang berguna bagi bangsa
dan agama. Tidak seperti ibu.”
Akhir hidup Ibu
dihiasi penderitaan batin berkepanjangan. Betapa tidak.
Aku sebagai miliknya meninggalkan dia begitu
saja. Apa yang diharapkannya tak jadi kenyataan. Sungguh memilukan!
Apalagi di detik-detik
terakhir hidupnya. Betapa Ibu sangat
mengharapkanku yang kian jauh. Aku tak dapat membayangkan; detik-detik
berpisahnya nyawa dengan raga, detik-detik terpejamnya kedua mata renta Ibu di saat sakaratul maut.
Durhakakah aku
sebagai anaknya?
“Karena kau hidup
seorang diri, tanpa siapa-siapa saat ini. Baiklah, Ibu
akan berterus terang, siapa sebenarnya dirimu. Kau masih punya Ayah. Tapi sudah
meninggal. Ayahmu punya istri, namun istrinya juga telah meninggal. Dari
perkawinan tersebut, Ayahmu dikaruniai seorang putri, Intan namanya. Intan
sebagai putri tunggal. Ia adalah pewaris
tujuh perusahaan besar ayahmu.
Masa
bodoh. Aku tidak boleh bergantung sama orang lain. Itu prinsipku.
“Kau
sebagai anak dari selir ayahmu, tentunya kau tidak punya hak atas harta
kekayaan yang diwariskan pada Intan. Ibu ceritakan semua ini, karena kau pernah
bertanya pada Ibu. Dan, barangkali akan bermanfaat bagi kesendirianmu saat ini.”
Berarti
aku sekarang punya seseorang, gumamku seorang diri.
“Percayalah!
Tuhan akan senantiasa bersama hamba-hamba-Nya
yang menderita. Jaga dirimu baik-baik!”
Kulipat
kembali surat Ibu. Warisan paling berharga bagiku. Tidak ada yang lain.
Tanpa kusadari,
air mataku mengalir juga. Baru kali ini
aku menangis. Entah mengapa, hatiku luluh oleh kejujuran Ibu.
Padahal sebelumnya aku tidak pernah mengeluarkan air mata, walau hal ini menyakitkan.
Itulah alasanku, mengapa aku tak pernah menangisi segala sesuatunya yang berkaitan dengan lingkaran hidup Ibu.
Yang sudah terjadi, biarlah berlalu...
_______........______
Kini. Ya, kini Ibu telah membuat sejarah bagi masa depanku. Dulunya Ibu
masih sangat tertutup. Begitu rapat Ibu
menyimpan rahasia. Dan aku pernah membentaknya atas kebisuannya, bahkan aku terlalu
berani memarahinya. Tapi Ibu tak pernah membuka mulut. Begitu kuat Ibu
menyimpan rahasia
masa lalunya bersama pria yang menyebabkan aku dilahirkan ke alam fana ini.
Dan itu sebagian
yang membuatku meninggalkannya, karena Ibu
tak memberitahu, siapa sebenarnya ayahku.
Aku berangkat dari
masa lalu yang getir, penuh teka-teki. Hal ini berawal dari kebisuan Ibu.
Entah mengapa Ibu terlalu kuat menahannya. Barangkali aku takut berbuat
macam-macam. Atau, mungkin aku adalah miliknya yang paling berharga di dunia
ini, sehingga Ibu tidak ingin kehilanganku.
Kini terkuaklah,
siapa diriku sebenarnya. Tanpa harus membentak, tanpa harus memarahi terlebih
dulu. Namun, aku masih belum berani mengambil keputusan. Aku tak mau terburu
nafsu. Aku mau nantinya berjalan baik, mulus, dan lancar.
Aku ingin belajar pada kegagalan yang pernah kualami.
Sudah banyak
sekali kegagalan yang kureguk. Sudah teramat banyak, menerpa sekujur hidup ini.
Aku mau kegagalan itu musnah, walau tidak semuanya. Paling tidak,
memperkecilnya.
Kulangkahkan lagi
kakiku, menyusuri senja menyibak jingga, terasa nikmat. Kuibaratkan kaki ini
menginjak tanah Kalimantan pertama kalinya, yang terasa asing, namun
mengagumkan. Di situlah aku merasa betah. Aku mulai akrab dengan sekitarnya.
Dan aku mulai menemukan diriku sesungguhnya. Hidupku pun sangat berharga bagi
mereka, kendati anak pelacur, namun karya nyata yang kucipta telah banyak bicara.
Atas keberhasilan itu, tak pernah aku menyombongkan diri. Sikapku tetap seperti
biasanya.
Akhirnya aku
kembali. Kendati aku pernah bertekad untuk melupakan semua masa lalu. Namun
kerinduan tak dapat kubendung. Bayang-bayang Ibu
menjelma dalam mimpi, setiap malam. Inilah yang mendesakku untuk mengambil
keputusan.
“Jika kau tidak
keberatan, kami sebenarnya menginginkan dirimu kembali secepatnya. Asal kau
tahu, Nit, tenagamu sangat dibutuhkan perusahaan ini. Sebab sulit sekali
mencari tenaga kerja yang ulet, terampil, tekun, dan kreatif sepertimu. Kuharap
kau memahami semua ini, Nit” pinta Septi sebelum keberangkatanku.
“Hamya
satu minggu kan ?!” aku mengingatkannya.
“Ya.
Tidak lebih.”
Selama di perusahaan aku menerjuni kerja tidak tanggung-tanggung.
Kuselesaikan tugas dan kewajibanku sebaik mungkin, seperti yang diharapkan
perusahaan. Hasilnya cukup baik.
Maka tak heran
jika Septi sebagai asisten direktur di perusahaan itu, mencegah kepulanganku.
Tetapi tekadku sudah bulat. Tak ada sesuatu pun yang bisa menghalangi.
Kupandangi semua
orang yang lewat di situ. Aku tiba-tiba menemukan wajah Ibu.
Semua perempuan yang lalu-lalang adalah Ibu. Ibaku membakar jiwa, berkobar
dalam kerinduan, bagiku meruah, tapi menyakitkan di hulu hati. Segera
kuberanjak dari tempat itu. Aku tak ingin berlama-lama hatiku membeku.
Setidaknya aku harus bangkit, membangun kembali asa yang telah
berkeping-keping, biar hidupku tak mubadzir. Sedangkan kesempatan memperbaiki
diri terbentang luas. Kuingin memulainya lagi.
Kutinggalkan kota
kelahiranku.
--------------o0o----------
Pagi
yang gerimis. Semalam hujan tak mau berhenti. Surabaya mulai banjir. Mentari
tampak bias-biasnya. Semua itu tak mengendorkan hasratku. Malah, justru
sebaliknya
Turun dari taksi,
berlari-lari kecil menuju sebuah hotel berbintang. Aku diterima dengan senyum.
Tak banyak komentar. Rupanya dua wanita muda yang memberiku senyum barusan
adalah penerima calon pekerja. Banyak juga yang melamar. Aku duduk di antara
mereka.
Dan tiba juga
giliranku untuk tes wawancara setelah cukup lama menanti. Dengan perasaan tak
menentu aku duduk di depan wanita lebih muda dariku. Ia pakai kacamata.
Sederhana penampilannya, tapi tetap berwibawa. Sementara ramah sikapnya. Tak
ada kesan egois dari gerak tubuhnya yang lembut.
Berbagai
pertanyaan pun meluncur. Komentar dan argumenku menjadi jawabannya dan ia mulai
tertarik dengan improvisasi opiniku.
Akhirnya, ia mulai
menanyakan pengalaman kerjaku. Aku pun membeberkannya, tak ada yang tercecer. Kukupas tuntas.
“Anda anak buah
Septi?” potongnya spontanitas. Sementara ceritaku belum selesai.
Aku terhenyak.
“Bu Intan tahu?”
Untuk kesekian
kalinya ia tersenyum.
“Anak perusahaanku
banyak, Nit. Salah satunya di Kalimantan, tempat di mana kamu kerja. Dan
beberapa hari yang lalu Septi memberitahuku lewat telepon. Aku sungguh salut
terhadapmu,” pujinya seakrab mungkin, dan seolah tak menampakkan nada
berlebihan.
Selebihnya aku
tersenyum, mengimbangi sanjungannya. Namun aku tetap awas dan terus menjaga
jarak. Bagaimanapun ia atasanku, aku harus menghormatinya. Ini adalah etika.
Meski aku tahu ia adikku lain Ibu.
Intan, nama yang
sangat bagus. Tubuhnya yang langsing, kulitnya kuning, hidungnya mancung,
rambut ikal, matanya yang teduh adalah bentuk yang terdapat padaku. Tidak jauh
berbeda. Aku menemukan banyak kesamaan padanya.
Tak bisa
dipungkiri. Kenyataan tersebut dibenarkan oleh karyawan-karyawati setelah
diriku diterima kerja di hotelnya. Rupanya Intan mulai merasakan akan hal itu.
Ia mulai banyak bercermin, memperhatikan dirinya di depan kaca, kata seorang
pembantunya.
Belakangan ini
kuketahui, Intan ternyata sudah punya suami dan anak satu. Ia memilih seorang
pengusaha yang sukses, sehingga bertambahlah perusahaannya. Malah, ada dua
perusahaannya di luar negeri.
Sekian lama aku
bekerja, semakin banyak yang kutahu tentang Intan dan keluarganya.
Aku mulai memasang
perangkap. Lambat-laun kunanti
perkembangannya. Akhirnya, Intan masuk dalam perangkapku. Pengorbanan dan
perjuanganku tidak sia-sia. Aku semakin dekat dengan keluarga Intan. Malah,
Intan menganggap kalau aku adalah bagian terkecil keluarganya.
Di rumahnya yang
megah dan luas, lengkap dengan kolam renang dan taman bunga, aku disuruh
menempati kamarnya di lantai tiga yang kosong. Tawaran itu tidak kusia-siakan.
“Kau masih belum
punya kekasih, Nit?” tanya Intan pagi di taman sebelah rumah. Suami Intan sedang
keluar kota. Seperti biasa, jika libur aku yang menemaninya.
“Mana ada pemuda
yang mau sama aku, In!”
“Tapi kamu
cantik.”
“Itu menurutmu.
Selera manusia kan tak sama,” tepisku datar.
“Mungkin kau
terlalu dingin menghadapi pria?” timpal Intan sembari mengambil minuman.
“Entahlah.”
Tak pernah
terlintas di benakku punya pria idaman. Cintaku seolah beku di makan waktu,
begitu ganas memberangus kalbu. Aku ingin menikmati hidup ini dengan tenang.
Aku tak mau menyakiti hati orang lain. Sebab, kegagalan dalam bercinta itu
menyakitkan. Biarlah asmaraku kelabu, barangkali hingga tamat riwayatku.
Tapi
bagaimana kalau aku tidak menikah. Tentu generasiku musnah. Tidak, aku harus
punya keturunan sebagai penerus cerita yang terputus.
Aku juga tak pernah
bercita-cita untuk dihormati orang lain. Tak pernah mengharapkan yang muluk-muluk. Toh, aku adalah
anak pelacur. Darah di sekujur tubuhku najis dan menjijikkan. Hidupku tak
ubahnya sampah. Tak patut didekati.
Aku lebih senang
hidup sendiri. Aku tak mau hidupku menderita seperti Ibu.
Beliau mendekam dalam lara karena lelaki. Aku pun lahir karena lelaki. Hidupku tersangkut
di ranting sengsara karena lelaki. Dan, aku tak sudi hatiku terkoyak lantaran
lelaki. Sebab kutahu, lelaki mau menangnya sendiri, kendati tidak semuanya.
Biarlah hati ini damai tanpa lelaki.
“Jangan
pertahankan kesendirianmu, Nit! Tentunya kau harus memikirkan tentang
keturunan. Itu penting. Kau tentunya mau hidupmu ada yang mengenang. Coba
pikirkan sekali lagi! Hidupmu hanya sekali. Jangan sia-siakan kesempatan, Nit!”
Ucapan seperti itu
sering terlontar dari bibirnya. Intan memang sangat memperhatikanku. Itu wajar,
sebab
Intan mnganggapku sebagai bagian dari keluarganya.
“Kau tentunya
menyadari, selama ini Leo sangat mendambakan cintamu.
Tapi kamu malah...”
“Aku tak mau
hidupku jauh terlempar ke jurang nista karena lelaki, In. Kau tentu pernah
disakiti cinta seorang lelaki. Sekali lagi, hidupku tak mau
hancur karena lelaki. Sungguh, aku tak sudi!” keluhku mirip sebuah rintihan.
“Hidup
di dunia harus berani mengambil sebuah keputusan demi masa depan.”
“Betul,”
aku mengamini komentar Intan. “Untuk sekarang aku masih belum berpikir ke sana.
Aku tak mau kecewa untuk kesekian kalinya.”
Rupanya Intan
mulai memahami perasaanku. Ia mencari sesuatu dari sepasang mataku yang berkaca-kaca. Ia
mulai menemukan goresan derita. Lalu mencoba meyakinkanku.
_____........_____
Cinta
senantiasa menghampiri hidupku. Teman-temanku benar, aku terlalu memperhatikan
pekerjaan, memforsir tenaga dan pikiran, kendati tak berlebihan. Namun, justru
aku lebih bahagia berbuat begitu. Mencurahkan segala perhatian pada tanggung
jawabku. Sebab, prinsip hidup orang bijak, siapa yang bekerja dialah yang memetik hasilnya. Prinsip yang
demikian sangat kuat di jiwaku, terpatri di dinding nurani.
Meski sudah banyak
alasan yang kukemukan pada Leo, namun Leo tetap mendekatiku. Ia pantang menyerah, tidak takluk pada penolakanku.
Leo adalah
seniorku dalam berkarier. Dia punya banyak pengaruh di lingkungan kerjaku. Dan
aku tak gentar menghadapi kemelut cinta ini. Aku terus bertahan, entah sampai kapan.
Kuakui, Leo cukup
tampan. Kerjanya sangat ulet. Wajar kalau dia begitu kaku menghadapi seorang dara.
Perhatiannya padaku juga tak berlebihan. Dia memang mengagumiku. Itu kutahu
jelas dari sikap dan penampilannya. Selanjutnya aku hanya bisa menghindar. Namun Leo terus mendekat.
Berulangkali
ajakannya kutolak. Kukemukakan alasan yang tak bisa ditawar. Namun dia selalu
menemukan kesempatan dalam kesempitan. Leo pantang menyerah. Aku tak menyangka,
cintanya bagiku kuat, mempengaruhi ruang gerakku.
Akhirnya, aku
mengalah, sekadar tak ingin menyiksa batinnya. Iba di dada menyeruak, mengalir
dalam darahku. Namun aku dapat menguasai semua hasrat diri.
Di sebuah rumah
makan mewah. Sengaja Leo mengajakku ke situ.
Tempatnya cukup terang. Ada instrumentalia
yang mengalun lembut. Tenang, suasananya sangat romantis. Pintar juga Leo memilihnya,
pujiku dalam hati.
“Kau suka tempat
ini, Nit?”
Aku mengangguk
dengan senyum.
“Rupanya pilihanmu
sangat istimewa, Leo.”
“Tidak juga, Nit”
“Kau sering ke
sini?”
“Seminggu sekali.
Habis kamu selalu menolak ajakanku. Padahal, aku sangat mengharapkanmu.
Barangkali kita dapat berbagi rasa,” ujarnya agak gugup. Sesekali matanya
mencari perubahan sikapku. Tapi aku bisa mengimbanginya.
“Kau kecewa?”
“Tidak. Justru aku
menyukaimu. Pada kepribadianmu. Tapi kau selalu menyuguhkan kebimbangan. Kau
seolah-olah takut menghadapi kenyataan ini.”
“Aku memang belum
siap Leo. Maafkanlah. Kukira ini belum waktunya aku berpikir!”
`”Sampai kapan,
Nit?”
“Entahlah. Tapi
aku juga mengagumimu.”
“Baiklah, aku
terima semua ini.”
Pembicaraan kami
usai hingga di situ. Aku bersyukur Leo tidak kecewa. Bagaimanapun, aku tak
ingin menyakiti hatinya.
Hari-hari
berikutnya, berjalan apa adanya. Aku tetap konsentrasi pada pekerjaanku.
Sebagai general manager di hotel, kuakui, memang godaan senantiasa datang. Tapi
aku bisa mengantisipasinya. Tentu dengan beberapa kiat.
Di minggu yang
kelima, akhir Agustus, Leo kembali mengajakku ke sebuah restoran yang sama.
“Kau tak banyak
berubah, Nit!”
“Maksudmu?”
“Kau tampak selalu
ketakutan menghadapiku,” tebaknya meniscaya, seolah telah menemukan sesuatu dari
sikapku selama ini.
Aku mencoba menepisnya dengan seutas
senyum.
“Ah,
masak iya.”
“Lantas mengapa
kau selama dua tahun ini tak pernah mengambil cutimu?”
Pertanyaan yang
masuk akal. Tak menyangka, Leo akan membuatku berdebar. Aku terdiam. Kali ini aku
sulit melontarkan alasan.
Sekali lagi Leo
mendesakku, “Apa kau tak rindu akan keluargamu?”
“Tidak juga!”
“Kenapa, Nit?”
Leo
memegang tanganku. Ia seolah ingin memohon penjelasan yang masuk akal dariku.
Ia menunggu.
“Belum
waktunya.”
“Sampai
kapan?” pintasnya tanpa tedeng aling-aling lagi. “Bukankah sangat perlu sebelum kita menikah.”
“Jangan mengaitkan
dengan pernikahan, Leo! Terus terang, aku masih belum siap kita mengikat janji.
Kau tak usah terburu-buru. Aku masih belum apa-apa. Sebab aku tahu, aku tak
ingin nantinya kau kecewa...”
“Kecewa? Apa
maksudmu, Nit?” kejar Leo amat serius.
“Aku tak punya
siapa-siapa di dunia ini, Leo”
“Kau jangan
bergurau!”
“Sungguh!” Aku
menyakinkan dirinya. Walau kutahu semua teman-temanku takkan percaya, termasuk
Leo. Oh, mereka telah terkecoh oleh penampilanku. Dan aku sudah mempersiapkan
segala apa yang bakal terjadi. Kemungkinan itu pasti akan kuhadapi. Kini aku
akan memulai sesuatunya, siapa diriku yang sebenarnya.
Leo mendengarkan
semua ceritaku. Sikapnya begitu tegang. Aku tahu, cintanya akan berubah
terhadapku nantinya. Sebab dia adalah anak seorang ulama. Sementara diriku anak
pelacur.
Leo hanyut dalam
nada-nada sedihku. Namun aku tak mau terkecoh dengan itu semua. Sebab,
kehidupan keluargaku dan keluarganya, tak jauh berbeda dengan minyak dan air,
sulit menyatu. Meski tidak seutuhnya, tapi sudah banyak cermin sebagai
perbandingan
Permasalahan yang
pelik untuk diretas. Mulai jaman dahulu.
Manusia memang berusaha melepaskan dari belenggu tersebut, tetapi masyarakat
yang gampang memvonis, akhirnya cita-cita mulia pun runtuh. Begitu kuat;
bebet, bibit, bobot mempengaruhi daya pikir masyarakat awam.
“Kau masih mau
mencarinya, Nit?” tanyanya setelah kutuntaskan semuanya, tanpa ada yang
kusembunyikan.
“Masih!”
“Yakinkah kamu,
bahwa dia masih ada?”
“Aku cuma
berusaha, Leo. Kalau memang Ayah telah
tiada, setidaknya aku bisa menemukan kuburnya. Ini adalah bagian dari amanat Ibu.
Sebab, karena dia aku lahir.”
“Nama ayahmu
siapa, Nit?”
“Sukandar Pratama.”
“Sukandar Pratama?”
Leo
sedikit tersedak demi mengetahui siapa nama ayahku.
“Ya. Kau tahu
barangkali?”
“Ti... tidak.”
“Kau
kenapa, Leo?”
Leo
menutupi sikapnya agar tak terendus olehku. Satu langkah mulai kuraih untuk
menyibak kabut keberadaan Ayah.
Aku menemukan
kegugupan darinya. Kutunggu perkembangan selanjutnya. Lewat ekor
mata, kutahu Leo menatapku penuh tanya dan sedikit bimbang.
“Kau pernah
menceritakan hal itu pada teman-teman, Nit?” tanya Leo setelah kami cukup lama
saling diam.
“Kurasa itu tidak
perlu. Apa untungnya buatku. Justru kalau aku cerita ini mungkin teman-teman
menanggapinya pro dan kontra.” jawabku ringan saja, tak mempedulikan perubahan
air muka Leo yang drastis. “Ceritaku ini hanya kamu yang tahu karena kamu orang paling dekat
selama ini.”
“Setidaknya kau
harus mencari tahu, di mana ayahmu kini berada. Mungkin mereka bisa membantumu.
Kukira hal itu takkan membuka aibmu,” saran Leo lebih jauh.
Dorongan yang
tepat dan amat jitu. Tapi aku memang telah tahu akan posisiku. Aku sengaja
memulai sesuatunya dari orang yang punya perhatian terhadapku. Ini sebuah strategiku untuk membongkar
kenyataan yang sebenarnya. Jala telah aku gelar.
“Kau tak keberatan
bila aku menanyakan pada mereka, Nit?”
“Maksudmu?”
“Aku akan mencari
tahu, di mana ayahmu kini. Aku akan memulainya dari temen-temen kita. Kau
setuju!”
“Maksudmu apa? Apa kau tahu. Memang hanya
satu orang bernama Sukandar Pratama. Gila kamu. Lagi pula aku tidak tahu,
beliau ada di kota ini atau di kota
lain.”
______..........______
Wajah Sunyi
Selama
tiga hari berturut-turut, teman-teman di tempat kerjaku ramai membicarakan
diriku. Dari Leo-lah mereka tahu, bahwa diriku masih mencari Ayah
tercinta, yang kini entah di mana.
Aku berhasil
menciptakan opini bagi mereka. Semoga opini tersebut bisa terdengar oleh Intan.
Sementara diriku
masih dalam penantian akan tanggapan Intan. Kegelisahan Intan tak seperti hari
biasanya, kata seorang temanku. Bahkan Intan pulang sebelum waktunya. Aku mulai
menaruh kecurigaan, kendati kutahu, ia adalah adik lain ibu denganku. Aku
senantiasa menjaga agar pergaulan berjalan apa adanya.
Akankah Intan
menerimaku sebagai kakaknya? Tidak mudah. Aku tidak boleh gegabah. Bisa-bisa
aku yang terdepak. Siapapun orangnya, tentu ia tak ingin nama besar keluarganya tercemar akibat
sebuah perkara istri lain diluar istri yang resmi.
Aku
juga sudah mempertimbangkan sisi positif dan negatif dari rahasia ini apabila
terbongkar. Jelas ada beberapa komentar miring dari mereka dan juga komentar
yang bernada simpati. Kendati betapa
malunya diriku, apabila aku dianggap sebagai pengacau rumah tangga harmonis dan
punya kedudukan penting.
Setidaknya aku
bisa bernapas lega, ketika Intan mengajakku ke pantai. Aku mempersiapkan kata-kata
yang mungkin dapat memberangus kemelut hati.
Dengan menyetir
kendaraan pribadinya, kami berdua tiba di pantai. Ombaknya tenang. Anginnya
yang semilir menerpa
wajah kami, sungguh
merupakan panorama nan indah. Burung-burung pemangsa ikan terbang di antara
gulungan ombak, menyatukan pandangan kami dalam harapan.
“Kau suka pantai,
Nit?” ujar Intan ketika kami keluar menuju
pantai.
Aku
merasakan ada sesuatu yang lain dari sikap dan nada kalimat Intan. Setelah
memesan minuman, kami duduk di bawah payung yang disediakan oleh pengelola
tempat rekreasi.
“Lebih dari itu.
Sebab di sini aku menemukan kuasa-Nya. Bahkan, aku banyak mendapatkan
kedamaian, lantaran syukurku di debur pantai ini.”
“Maksudmu?”
“Aku tak punya
siapa-siapa di dalam fana ini, In. Hidupku sangat gersang. Aku harus meniti
kehidupan ini pada kegetiran. Kau tentu sudah mendengar tentangku?”
Intan menyibakkan
rambutnya. Pelan tapi pasti ia menganggukkan kepalanya, begitu lincah. Kucari
sesuatu di wajahnya, namun aku terlalu sulit menerjemahkannya. Kabur!
“Kau masih
mencarinya, Nit?”
Plung! Kupandangi
batu yang kulempar ke pantai. Jantungku berdebar. Darahku berdesir.
“Karena dia aku
lahir. Karena dia hidupku tak karuan. Karena dia Ibu
menderita. Karena dia kehidupan kami terlunta-lunta. Tapi, bagiku dia sangat
berarti. Harapanku padanya. Aku terlalu mengimpikannya memang...”
“Seandainya dia
telah tiada?”
Kutarik napas,
dalam.
“Aku harus
menemukan kuburnya. Aku sudah berjanji dalam hati. Seperti janjiku
pada Ibu
untuk mencintainya. Ibu pun mengorbankan tubuhnya terbakar oleh nafsunya. Cinta
Ibu
terlalu berlebihan. Tiada salahnya kalau aku juga mencintainya.”
Kulirik sikap
Intan yang mulai berubah. Ia lebih banyak mendengarkan. Mengurung dirinya dalam
resah.
“Kini Ibu
telah pergi. Kematiannya sungguh menyedihkan. Aku menghindarinya lantaran aku
benci dengan pekerjaannya. Beliau seorang diri menjelang ajalnya. Harapannya
sunyi yang menjelma jadi neraka. Kuakui, diriku sangat berdosa. Di detik-detik
terakhirnya aku tak ada di sisinya.”
Intan mulai
terperangah dengan irama luka lamaku. Begitu mendalami ia. Dari sepasang
matanya yang teduh tampak berkaca-kaca. Aku tak mau kesempatan ini
disia-siakan. Aku harus membuatnya bersedih. Harus....
“Kita pulang,
Nit!” ajaknya tiba-tiba. Aku tak berkutik. Padahal, masih banyak yang akan
kuceritakan. Masih banyak yang ingin kutuntaskan. Biar Intan dapat menyelami
deritaku.
Senja menghias
langit. Jingganya menghambar pada lautan lepas. Kemudian kami meninggalkannya.
Hari-hari
berikutnya adalah menanti. Pekerjaan membosankan itu senantiasa menjeratku. Aku
tak bisa menghindarinya. Aku tak bisa memaksakan diri. Aku terpaku pada
kesenyapan. Dan, wajah kesenyapan itu membanjiri dalam riak hasratku. Sungguh
abadi diriku di sini. Entah, sampai kapan berakhir, ingin rasanya aku
menghentikannya. Aku kian tersiksa.....
Tiada orang yang
tahu atas semua deritaku. Hanya pada-Nya kusujudkan raga haram ini. Kujeritkan
laraku. Kutumpahkan segalanya. Sebab hanya Dia yang tahu. Akhir-akhir ini aku
memang banyak menangis. Menyesali yang telah terjadi. Tidak seperti sebelumnya.
Tidak seperti ketika aku dalam perantauan di Kalimantan. Kendati sunyi, aku
masih meras nikmat. Dan aku masih sanggup melupakan bayang-bayang ibu yang
kutinggalkan. Aku masih sanggup meletakkan diriku di tengah-tengah pergaulan.
Di tengah-tengah kasih sayang yang mahal.
Kini aku harus
menangis dalam doa. Kini aku harus teriak, melepaskan beban sengsara. Sementara
perhatian teman-teman amat berlebihan. Namun justru menyulitkan aku mereguknya.
Aku kesulitan meluangkan waktu sekadar berbasa-basi. Aku sungguh kesulitan
tersenyum akrab bagi mereka. Setidaknya demikian penilaian Leo.
“Kau sakit?” tegurnya
penuh perhatian pada suatu hari di tempat kerja.
Aku mengangkat
bahu.
“Kau harus banyak
istirahat, Nit!”
Untuk yang kedua
kalinya bahuku terangkat, sebagai ungkapan diriku baik-baik saja. Leo masih
belum percaya. Ia tampak mengkhawatirkan diriku. Kuakui, Leo sangat
menyayangiku, meskipun ia tahu siapa aku, cintanya t
ak berubah sejengkal pun.
Bahkan, Leo juga
mencari tahu, di mana ayah berada. Pengorbanannyaa begitu tulus, walau aku
seringkali mengecewakannya, kasihnya sekuat debur ombak menerjang tebing
berbatu. Kadang aku merasa berdosa. Sebab ia lebih banyak mengalah. Lebih
banyak menunggu keputusanku. Lebih banyak diam jika diriku dalam kalut dan
galau.
“Kau sangat
beruntung mendapatkan cintanya, Nit,” gurau Rafika, teman kerjaku yang sudah punya
anak tiga. “Kapan kau akan melangsungkan perkawinanmu?”
“Buru-buru, ah... Nanti
kiamat datang!” celetuk Sorahita dengan tawanya.
Deg, deg, deg....
Jantungku berdetak hebat. Selebihnya aku hanya mengiringi senyumnya.
Sewajarnya aku
sudah punya keturunan. Aku sadar akan hal itu. Bahkan Leo pernah mendesakku,
tapi kutepis hasratnya, dengan alasan aku masih belum siap. Sebab ayah masih
dalam pencarian. Aku harus menemukannya. Setelah itu, barangkali aku biasa ya,
ya, ya....
Aku tidak munafik,
sesungguhnya aku juga ingin dibelai, dicium, dikecup, didekap, dipeluk oleh
lelaki. Hasrat bergelora itu senantiasa ada, namun aku berusaha memendamnya.
Aku tak suka mencari kenikmatan sepintas. Biar abadi kesendirianku. Biar aku
menjadi perawan tua. Biar orang menilaiku wanita dingin, lesbian.Tetapi aku tak
ingin merusak hari depanku. Aku tak mau seperti ibu. Aku ingin menjadi
perempuan baik-baik, meski tubuhku tetap najis, jadah.
Toh, orang lain
hanya bisa menilai, mencemooh, menghina, mencela, memfitnah, mendikte, bahkan
memvonis sesuatunya. Tak pernah mereka mau tahu, apa yang melatar-belakanginya.
Theng....theng....Jam
kuno berdentang. Sudah jam dua, pekikku dalam hati. Segera kubaringkan tubuh,
menyelimuti mimpi. Terlalu banyak aku mengenang yang telah terjadi.
_____.......____
Kalau
saja bukan Leo yang hadir, mungkin aku sudah berteriak. Entah kenapa, Leo
tiba-tiba menciumku dalam gelap, memelukku penuh kehangatan. Aku tak bisa
berontak. Birahiku memuncak. Tubuhku bergetar hebat. Naluri wanitaku berkobar,
membakar dari ujung kaki hingga ujung rambut.
Apalagi ketika Leo
megulum bibirku, melumatnya tanpa ampun, aku mengerang lirih, pasrah dalam api
asmara. Aku hanyut. Aku berbuai. Aku terguncang. Padahal Leo sebelumnya tak
pernah berbuat kurang ajar begitu terhadapku. Dan, baru kali ini aku merasakan
perlakuan mesra seorang lelaki.
Bukan sok alim,
aku memang menjaga diri. Aku tak ingin milikku paling berharga hilang.
Mati-matian aku mempertahankannya. Dan, Leo sangat mengerti tentang milik
seorang gadis yang paling berharga. Tetapi malam ini kami melakukan sesuatu.
Sesuatu yang tak perlu aku sebutkan. Sesuatu yang tabu dijelaskan. Sesuatu yang
menjadi hiasan langit kenikmatan.
Ketika tangan Leo
meremas-remas milikku, membangkitkan gairah wanitaku, justru aku tak berontak.
Entah mengapa, aku jadi wanita yang sangat bodoh. Atau ketika kami tanpa
sehelai benang. O.....Aku telah lupa diri. O....
Tubuh kami menyatu
erat. Berguling-guling di antara napas memburu. Kami ingin saling mengalahkan.
Tetapi, di saat milikku mau di terobos dengan beringas, sontak pandanganku
nanar. Ternyata bukan Leo yang mau menyetubuhiku, melainkan ayahku. Aku teriak
seraya menghindari terkamannya. Dia tak mau peduli atas jeritanku yang
menyayat. Dia tidak mau mendengarkan tangisanku. Tangis anaknya.
Dor....dor....dor....
telingaku menangkap pintu kamarku digedor dari luar. Suara Bi Isma
berulang-ulang memanggil namaku. Kubuka perlahan mataku. Tiada siapa-siapa di
kamarku. Mimpi menyeramkan itu akhir-akhir ini menghantui istirahatku. Apakah
ini merupakan pertanda....ah, tidak mungkin!...
Kubuka daun pintu.
Bi Isma masih berdiri memandangiku. Pembantu renta itu mengamatiku sekali lagi
sebelum melontarkan kalimatnya, “Mimpi lagi?”
Aku tersenyum
terhadapnya.
“Makanya, jangan
lupa berdoa sebelum tidur!” sarannya penuh perhatian sebelum meninggalkanku.
Kupandangi tubuhku
masih utuh. Keringat kengerianku masih tersisa. Mimpi itu membuat halusinasiku
tak karuan, kesannya teramat mencekam, mencabik-cabik kedamaianku .
Kupandangi lukisan
ayah yang terpajang di sudut kamarku. Lukisan itu kupesan beberapa bulan yang
lalu. Tampak beliau tersenyum. Tampangnya sangat gagah. Wajar kalau ibu
tergila-gila ketika masih mudanya. Aku tak
patut menyalahkan ibu atau ayah,
lantaran cinta membuat anak manusia lupa dan buta.
Kucemati wajah
ayahku sekali lagi. Wajah yang tak pernah kukenal sebelumnya. Wajah yang harus
kusebut sebagai ayah, meski ia tidak pernah menyebutku sebagai anaknya, apalagi
mengakuinya. Keputusan tersebut harus kuterima. Tak boleh aku memperotesnya.
Lukisan itu pernah
ditanyakan oleh Bi Isma
“Tiada salahnya
kalau aku ingin mengenang pemilik rumah ini kan, Bi. Hal ini sengaja kulakukan,
tak lain sebagai ungkapan terima kasih. Toh, wajar kan, Bi. Apalagi keluarga
Intan menganggapku adalah bagian darinya.”
“Apakah nak Nita
pernah ziarah ke kuburan kedua orangtua Intan semata-mata ungkapan terima
kasih?” tanya perempuan tua ubanan itu penuh selidik.
Aku mengangguknya.
Tetapi ia masih curiga. Meski demikian, ia harus puas dengan penjelasanku.
Belakangan ini,
sengaja aku melakukan sesuatu yang mengundang perhatian seisi rumah besar
Intan. Tak jarang menimbulkan teka-teki, seperti Bi Isma misalnya.
Kutinggalkan kamar
itu, bergegas menuju kamar mandi. Sambil bernyanyi kecil, kuguyur tubuhku.
Sangat segar terasa.
Selesai
membersihkan tubuh, langkahku terasa ringan. Setibanya di kamar, aku sangat
terkejut. Hatiku bertanya-tanya. Tak sewajarnya Intan ada di kamarku. Dan,
belum pernah Intan masuk kamarku tanpa sepengetahuanku. Aneh.
“Maaf! Barangkali
kehadiranku mengejutkanmu, Nit?!” ujarnya, dan masih memandangi lukisan cukup
besar yang kupesan itu, tanpa membalikkan tubuhnya.
“Tidak apa.”
“Kau mengagumi
lelaki ini, Nit?”
Aku gugup. Kucari
kalimat yang tepat, masuk akal.
“Tiada salahnya
kalau aku mengenang seseorang lewat lukisan. Apalagi yang telah pergi.”
Intan masih
membelakangiku. Hatiku cemas, namun masih berharap. Aku segera bersandar.
Sekadar melepaskan diri dari kegundahan. Kami saling tidak menghiraukan.
“Sebelumnya tentu
kau mengenalnya, Nit?!” Intan mendesakku lebih jauh.
“Tidak juga, In”
“Ah....”
“Manusia hidup
menuju mati, In. Setiap manusia mempunyai keinginan untuk dikenang dirinya,
walau diucapkan dengan wasiat dan semacamnya. Kita tentu tidak rela, kematian
kita sia-sia, tidak ada yang mengenangnya!!”
“Benar. Apakah
manusia yang mengotori dan menodai kehidupan kita perlu dikenang?”
Intan membalikkan
tubuhnya. Memandangiku, aku sedang di depan cermin.
“Biasa juga,”
sahutku setenang mungkin. Kulihat jam tanganku. Sudah waktunya berangkat. Kupersiapkan
segalanya. Tak kuhiraukan Intan. “Maaf! Aku berangkat duluan, In. Bukankah kau
mengajarkan kepadaku tepat waktu!?”
“Sebentar!!”
cegahnya.
Kuhentikan
gerakku.
“Kau
tahu, lukisan ini adalah ayahku, Nit?”
Kupandangi wajah
Intan yang menanti,” Aku tahu. Aku menyadari sepenuhnya. Tapi mungkin kau tak
tahu, bahwa aku sangat mengaguminya serentang usiaku. Sudahlah! Aku terlambat
nih, In.”
Kutinggalkan Intan
yang masih terpaku. Sengaja kubersikap demikian untuk mendapatkan perhatiannya.
Kuakui, diriku
begitu tolol. Seandainya aku tidak bersandiwara di hadapannya, tentu Intan
akan... Ah,
tidak! Aku tidak boleh gegabah.
Aku tidak mau
berbuat kesalahan besar. Biarlah waktu saja yang akan menentukan. Aku tidak
pantas mengutuki diri ini.
Setibanya di tempat
kerja, segera aku menyibukkan diri dengan tugas-tugas yang menanti.
Kukonsentrasikan diriku terhadap kewajibanku. Aku harus menuntaskannya, biar
hasilnya memuaskan.
Pagi menjelang
siang. Aku sudah terlepas dari kegundahan. Hatikupun riang.....
_____......._____
Akhir Penantian
Pulang
kerja cukup melelahkan. Tiba-tiba langkahku di hadang Bi
Isma sebelum menuju kamar.
“Terlambat?”
“Pekerjaanku belum
selesai semua. Jadinya begini. Terpaksa, sebagian aku bawa pulang.”
Pandangan Bi Isma
menyelidik. Aku curiga. Namun aku bersikap seperti biasanya.
“Ada pesan Bu Intan!”
“Pesan?”
“Nak Nita ditunggu
saat ini di pekuburan!”
“Apa?”
“Cepatlah Nak
Nita ke sana, Bu Intan tentu sudah lama menunggumu! Jangan kecewakan dia!”
“Ada apa nih, Bi?....”
“Cepatlah!”
Kutinggalkan Bi
Isma. Aku bergegas menuju pekuburan. Hatiku tak karuan. Beragam tanya menghias
jingga senja, menghampar di sanubari, melukisi ruang pikiranku. Aku pun
pasrah.....
Langkahku terasa
berat membelah langit. Udara menerpa sebagian tubuhku yang berkeringat.
Jantungku berdetak lebih cepat. Hasratku ingin segera sampai lebih cepat.
Firasatku mengatakan sesuatu. Apakah
semua ini karena mimpi-mimpi burukku yang menggodaku?
Kuperlambat
jalanku setibanya di pekuburan. Di anatara nisan-nisan tua yang kuakrabi
belakangan ini, kutemukan tiga sosok duduk terpekur di sisi dua gundukan tanah.
Begitu sepi suasana di pekuburan tersebut.
Demi melihat
kedatanganku, Intan, suaminya dan anaknya
menyambutku.
“Kakakku....”
Intan tiba-tiba menubruk tubuhku yang terpaku dan menangis di dadaku. Serasa
tak percaya telinga ini mendengarnya. Kuyakinkan diriku, bahwa ini adalah
kenyataan yang patut kusyukuri adanya. Walau bagaimanapun, aku masih canggung.
“Ampunilah adikmu ini yang telah menyiksamu, Kak!” raungnya lepas.
Aku pun terharu.
Tanpa terasa, air mataku mengalir deras. Kami pun
berangkulan, berpelukan, berciuman melepaskan sekat yang selama ini tercipta. Kami merasa saling memiliki.
“Kau tak salah,
In. Kita sama-sama tidak bersalah. Hanya waktu dan jarak yang membuat kita jadi
begini. Tidak perlu ada yang mesti kita sesalkan. Biarkan saja yang telah
berlalu!” nada suaraku agak bergetar.
Mas Anang hanya
bisa menangis. Sedangkan Mini menyaksikan adegan kami dalam ketidak-mengertian.
Kemudian Mas Anang
menyodorkan sebuah kotak padaku.
“Terimalah, Kak!”
sahut Intan, “Itu warisan ayah buatmu, Kak.”
Kotak kayu berukir
sudah berpindah ke tanganku. Lantas kubuka. Isinya surat-surat penting
perusahaan.
“Tidak. Aku tak
berhak atas perusahaanmu, In,” tolakku spontan.
“Apapun alasan Kakak,
hal itu adalah keputusan Ayah sebelum
meninggalkan kita,” cetusnya sesegukan. “Ingatlah,
Kak! Kita hanya dua bersaudara.”
Kemudian kubaca
surat tulisan tangan itu:
“Nita,
anakku sayang....
Sebelumnya,
ampunilah dosa-dosa Ayah. Sungguh, Ayah
telah membuat kesalahan besar, lantaran Ayah
menelantarkan hidupmu. Sebenarnya ayah pernah mengunjungi ibumu dan ingin
mengajakmu hidup bersama dengan adikmu, Intan. Tetapi kau tidak bersama lagi
dengan ibumu. Kau meninggalkannya karena kau tidak ingin seperti ibumu. Ayah
salut dengan kegigihanmu itu.
Di balik semua
itu, di sisi hati Ayah senantiasa
lahir rasa khawatir. Karena kau sebagai seorang wanita. Wanita ditakdirkan
lemah di dunia fana ini. Tak jarang Ayah
menangis bila mengenangmu. Walau bagaimana pun, kau tetap darah daing Ayah.
Sepatutnya Ayah mengangkismu dari lembah derita. Itu harus Ayah lakukan, dan Ayah
memang sudah bersumpah. Namun kau semakin jauh dari harapan Ayah, sebab Ayah
tidak menemukan jejakmu.
Setelah kotak ini
ada di tanganmu dan membaca surat ini, Ayah
ingin mewariskan separuh perusahaan padamu. Kotak kayu ini di dalamnya juga ada
surat-surat penting perusahaan kepunyaanmu. Kau harus menerimanya dan
melanjutkan usaha Ayah. Ayah
berharap, semoga kau hidup bahagia bersama Intan, dan mempunyai suami serta
keturunan. Terimalah dia dengan cinta kasihmu yang tulus.
Nita, anakku yang
mempunyai tahi lalat di bahu kiri. Ayah menulis surat ini dengan deraian air
mata, karena Ayah pesimis kotak ini tak sampai ke tanganmu. Sebab Ayah
sadar betul, betapa meruahnya dosa-dosa Ayah
terhadapmu yang harus meniti kehidupan ini seorang diri. Ketakutan tersebut merengkuh
detik-detik terakhir Ayah menjelang
ajal.
Barangkali
kematian Ayah akan sangat tenang dan damai di sisi-Nya,
jikalau kau mau menerima warisan ini. Ayah sungguh tidak mau apabila kamu dan
Intan hidup menderita.
Selamat melanjutkan
perjuangan dan usaha Ayah...!”
Kulipat kembali
surat tulisan tangan Ayah. Ingin
rasanya aku menjerit dengan tangis, tetapi Ayah
sudah abadi di alam kubur dan menjadi tanah.
Bias-bias jingga
semakin indah, semakin mempesona hati. Lalu kami tinggalkan Ayah
dalam kesunyiannya. Kendati hatiku masih tertinggal di antara nisannya.
Pasongsongan-Sumenep, 11/1/2020
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.