Mengungkap Keberadaan Islam Pertama di Madura
Pintu Gerbang Astah Buju' Panaongan |
SUMENEP, apoymadura.com - Perkembangan Islam di
Sumenep tidak terlepas dari peran juru dakwah yang datang dengan sukarela.
Tanpa pamrih dan ikhlas hati. Mereka dengan istikomah, telaten, dan penuh
dedikasi tinggi dalam menyampaikan risalah Islam kepada umat. Sebuah ajaran
agama yang dibawa Baginda Nabi Muhammad SAW. menjanjikan umatnya pada suatu
kebajikan dan rahmat bagi sekalian alam.
Tidak ada catatan
tertulis dalam sejarah penyebarluasan ajaran Islam di Sumenep, kalau ajaran ini
dijalankan dengan kekerasan atau peperangan dalam penyebarannya. Semua mengalir
sesuai dengan ketentuan dari Allah SWT. Sehingga sampai detik ini di Pulau Madura
masyarakatnya mayoritas muslim.
Pada awalnya para
pejuang Islam yang berdakwah di wilayah Pasongsongan dilakukan secara
sembunyi-sembunyi. Memang sengaja mereka
melakukan strategi demikian. Kalau mereka secara terbuka dalam menyebarkan
ajarannya maka tantangannya maut.
Sebab ada catatan sejarah hitam sebelumnya, beberapa
juru dakwah Islam yang datang ke tanah Jawa terbunuh sebagai syuhada di sana.
Maka Pulau Jawa dianggap sebagai zona merah yang tidak kondusif bagi penyebaran
agama Islam.
Sebagai alternatif
dalam berdakwah, mereka memilih Pulau Madura sebagai tujuan. Sebab Madura pada jaman itu penduduknya masih
sedikit. Plus peradaban kehidupan masyarakatnya masih belum maju ketimbang
Pulau Jawa.
Menegakkan agama baru
di sebuah daerah yang berbeda keyakinan tidaklah semudah membalikkan telapak
tangan. Semua membutuhkan waktu lama bagi mereka dalam bersyiar. Proses
adaptasi yang tidak sebentar itu mereka manfaatkan dengan memperbanyak
silaturrahmi. Silaturrahmi merupakan sebuah metode pendekatan dari hati ke hati
yang telah Nabi Muhammad SAW ajarkan kepada umatnya. Hasil akhir dari sistem pendekatan
ini sangat luar biasa dan
menggembirakan.
Kesuksesan penyebaran
Islam di Kabupaten Sumenep datangnya berawal dari kaum beretnis Arab di wilayah
Desa Panaongan Kecamatan Pasongsongan-Sumenep. Adalah Syekh Al-Arif Abu Said
(Wafat 1292), Syekh Abu Suhri (Wafat 1281) dan keluarganya yang mendarat di
pelabuhan pesisir pantai Pasongsongan sekitar pada abad XI Masehi. Para
pendakwah ini telah menempuh perjalanan laut cukup panjang dari daerah asalnya.
Mereka memasuki nusantara pertamakali ke Aceh dan Sulawesi yang dilanjutkan ke
Kecamatan Pasongsongan.
Di Sumenep kala itu belum ada adipati. Baru abad ke XII
Adipati Aria Wiraraja (Aria Banyak Wedi) memegang tampuk kekuasaan pada
1269-1292. Dan Aria Wiraraja masih belum menganut agama Islam. Sedangkan adipati
Sumenep yang mulai memeluk Islam adalah Penembahan Jauharsari yang memimpin
sejak 1319-1331.
Didalam menelaah
sejarah perkembangan Islam di Madura yang hampir seragam dalam strategi penyebarannya, pada umumnya memakai metode,
antara lain lewat media kesenian, perniagaan, perkawinan dengan masyarakat
pribumi. Ternyata metode konvensional ini sangat ampuh dalam penerapannya.
Tapi sangat special untuk
penyebaran Islam di Pasongsongan. Para pendakwah ini memakai metode silaturrahmi
sebagai langkah adaptasinya. Pada awal mereka menginjakkan kaki di bumi Pasongsongan yaitu berdagang. Setelah
itu mereka membentuk komunitas tertutup dalam menjalankan syariat Islam. Mereka
tak mau keberadaannya menjadi duri sehingga harus dibuang jauh dari Pulau
Garam, Madura.
Setelah kehadiran
mereka sudah diakui keberadaannya, sebagai kelompok minoritas, lalu mereka
mulai membangun musalla/langgar di Desa Panaongan. Barulah santri-santri dari
Aceh, Sulawesi, dan pulau-pulau lain di sekitar Madura berdatangan untuk belajar
mengaji.
Menurut K.H. Ismail
Tembang Pamungkas (pengasuh toriqoh di Desa Paberasan Sumenep), kenapa
santri-santri dari Aceh dan Sulawesi itu
belajar Islam di Desa Panaongan? Itu dikarenakan ulama-ulama di sana masih
punya ikatan keluarga/kekerabatan dengan para arifbillah di Pasongsongan.
Perlahan tapi pasti,
akhirnya kegiatan keagamaan komunitas Arab ini mulai diketahui oleh masyarakat
sekitar. Namun mereka tetap pada strategi awal, mereka tidak mengajak
masyarakat di sekitarnya untuk memeluk Islam. Pada perkembangannya kemudian
masyarakat sendirilah yang mendatangi mereka untuk belajar Islam.
Dari beberapa versi literatur,
Islamisasi di bumi Madura sampai saat ini, masih belum ada yang lebih awal dari
orang-orang yang terkubur di Astah Buju’ Panaongan dalam membentuk komunitas
Islam. Pembenaran ini berdasar pada situs tulisan Arab pada nisan makam.
“Saya yakin sekali,
kalau Islam di Desa Panaongan Kecamatan Pasongsongan Kabupaten Sumenep lebih
awal ada ketimbang turunnya para waliyullah di Pulau Jawa,” terang K.H. Ismail
Tembang Pamungkas kepada apoymadura.
Akan tetapi beberapa
pengamat sejarah di Pasongsongan menerangkan, bahwa tulisan yang ada di nisan
Astah Buju’ Panaongan menunjukkan kalau itu tahun Hijriah, bukan Masehi. Ini
berdasar pada aksaranya, yakni Arab. Wallahu A’lam Bishawab. (Yant Kaiy)
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.