Opini: Eko Supriyono, S.Pd.,
M.Pd.
“Sungguh
beruntung orang-orang yang beriman.”
( QS. Al Mu’minun : 1), “Mereka akan
mewarisi surga Firdaus, mereka kekal didalamnya.“
( QS. Al Mu’minun : 11)
Sepekan
sudah bulan Ramadhan berlalu, bulan yang
penuh rahmat dan maghfirah dari Allah SWT. Tidak ada yang bisa menjamin apakah
kita akan ketemu lagi dengan bulan Ramadhan tahun yang akan
datang kecuali Allah SWT.
Setelah
sebulan kita di gembleng menjalankan puasa, diharapkan ketakwaan kita semakin
meningkat kedepannya, lebih-lebih dalam
bulan Syawal ini. Bulan Syawal berati bulan
peningkatan, maka seyogyanya kita tingkatkan ketakwaan kita.
Kalau
selama bulan Ramadhan kemarin kita rajin
tadarus, rajin berinfak, rajin bershodaqoh dan amal-amal baik lainnya, jangan
sampai kita beramal baik hanya pada bulan Ramadhan saja, setelah itu
kita kembali melakukan perbuatan yang bertentangan dengan anjuran agama
sehingga hilanglah ketakwaan
kita, bahkan ada yang sampai
kehilangan keimanannya.
Untuk
mengetahui kualitas puasa seorang hamba, Allah memberi perumpamaan cara
berpuasa manusia dengan puasanya ular dan ulat. Ular sebelum mengganti kulitnya dengan kulit yang
baru, ular melakukan puasa dulu, puasa ular hanya menahan lapar dan haus saja,
sehingga begitu selesai mengganti kulitnya tabi’at ular tidak ada bedanya
dengan tabi’at sebelum mengalami pergantian kulitnya.
Cara
bergeraknya tetap merayap, makanannya tetap katak atau tikus, bahkan racunya
sangat berbahaya kalau menggigit. Lalu bagaimana dengan puasa ulat? Sewaktu
masih berwujud
ulat memang sangat rakus, memakan daun-daun bahkan sangat merugikan manusia
kalau menyerang tanaman pertanian. Setelah itu ulat akan menjalani puasa sewaktu
jadi kepompong, puasanya tidak hanya sekadar
menahan lapar dan haus, seluruh panca inderanya ikut berpuasa bahkan nalurinya
juga berpuasa.
Setelah
berubah menjadi kupu-kupu maka bentuk metamorfosanya jauh dari bentuk asalnya,
berbeda sama sekali dengan ulat. Bentuknya, warnanya jadi indah tidak
menjijikan lagi. Cara
bergeraknya terbang dengan sayapnya, makanannya mencari yang baik-baik yaitu menghisap sari pati
bunga, bahkan kupu-kupu membantu manusia dalam penyerbukan tumbuhan. Dari
perumpamaan itu mari bermuhasabah atau berintrospeksi diri kira-kira puasa kita
kemarin tergolong puasa yang bagaimana.
Kalau
kita amati kondisi masyarakat sekitar kita, banyak kita jumpai perilaku
orang-orang kembali ke perilaku yang berbeda jauh dengan apa yang dilakukan pada
waktu bulan puasa. Mungkin mereka menganggap dirinya telah bersih (fitri/suci)
dari segala dosa yang telah diampuni oleh Allah SWT pada waktu bulan Ramadhan, sehingga banyak
perbuatan–perbuatan dosa yang biasa dilakukan sebelumnya dilakukan lagi karena
mereka beranggapan nanti masih ada bulan puasa lagi, nanti bisa minta ampun
lagi (dalam bahasa Jawa “kapok lombok”/yaitu
makan makanan yang sangat pedas terus berhenti karena tidak tahan pedasnya,
tapi akan makan lagi ketika rasa
pedasnya reda.
Yang
demikian ini dilakukannya secara berulang-ulang). Sehingga bentuk taubatan
nasuha atau taubat yang sebenar-benarnya dan berjanji untuk tidak akan
mengulangi lagi tidak ada dalam kamus mereka. Tobat semacam (kapok
lombok) itu akan ditolak oleh Allah karena mereka tahu kalau yang dilakukan itu
dosa dan setelah tobat dilakukan lagi.
Seperti difirmankan Allah dalam
QS. An-Nisa’ (4): 17-18 yaitu: “Sesungguhnya bertobat kepada Allah itu hanya (pantas)
bagi mereka yang melakukan kejahatan ( dosa ) karena tidak mengerti, kemudian
segera bertobat. Tobat mereka itulah yang diterima Allah, Allah Maha
Mengetahui, Maha Bijaksana”.(17). “Dan tobat itu tidaklah diterima Allah dari mereka yang melakukan
kejahatan hingga apabila datang ajal kepada seseorang diantara mereka,
(barulah) dia mengatakan, “ saya benar-benar bertobat sekarang”. Dan tidak (
pula diterima tobat ) dari orang-orang yang meninggal sedang mereka dalam
kekafiran. Bagi orang-orang itu telah
Kami sediakan azab yang pedih”. (18).
Sebagai
mukmin sejati harapannya setelah puasa ketaqwaannya dan keimanannya meingkat,
sehingga dia akan mendapatkan keuntungan baik dari dunia sampai akherat kelak.
Lantas bagaimana ciri-ciri mukmin sejati itu?
Dalam
QS Al-Mu’minun (23) mulai
ayat 1 sampai 11 dijelaskan bahwa : “Sungguh beruntung
orang-orang yang beriman / mukmin” ( QS 23 : 1), bagaimana ciri-ciri orang
beriman (mukmin) tersebut ? Ciri-cirinya diantaranya adalah : “ orang yang
khusu’ dalam sholatnya” ( QS 23 : 2), “Orang yang menjauhkan
diri dari perbuatan dan perkataan yang tidak berguna”
(QS 23 : 3), “orang yang menunaikan zakat” (QS 23 : 4 ), “orang yang memelihara kemaluannya kecuali kepada istrinya dan tidak
melakukan zina dan sejenisnya” (QS 23 : 5-7), “orang yang memelihara amanat dan janjinya” (QS 23 : 8 ), “orang
yang memelihara sholatnya” (QS 23 :
9 ), ” itulah orang-orang yang
mewarisi surga firdaus dan mereka kekal didalamnya” (QS 23 : 10-11).
Indikator
lain orang yang bertakwa
seperti firman Allah dalam QS Ali-Imran
(3) : 133 yaitu “ Dan bersegeralah kamu
mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit
dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa”. Dan mereka selalu
berdo’a “ Robbanaaghfirlanaa dzunubanaa waisroofanaa fii amrinaa watsabbit aqdaamanaa
waanshurnaa ‘alal qoumil kaafiriin”. ( Ya Tuhan kami, ampuilah dosa-dosa kami
dan tindakan-tindakan kami yang berlebihan (dalam) urusan kami (melampaui
batas-batas hukum yang ditetapkan oleh Allah), dan tetapkan pendirian kami, dan
tolonglah kami terhadap orang-orang kafir. QS Ali ‘Imran (3) : 147. Itulah ciri-ciri orang mukmin yang kelak akan
mewarisi surga firdaus dan mereka kekal didalamnya.
Marilah
berfastabiqul khoirot
(berlomba-lomba dalam mencari kebaikan) sesuai dengan kemampuan kita masing-masing,
yang mampunya berdzikir perbanyaklah berdzikir, yang mampu sholat malam dan
sholat sunnah yang lain jaga istiqomahnya, yang mampu berinfak dan shodaqoh
perbanyaklah, yang mampu berjihat lakukan baik dengan harta dan jiwa,
syukur-syukur kalau bisa dilakukan semuanya, semua akan menjadi amal sholeh
kita dan kelak akan dibalas oleh Allah SWT.
Kita
boleh mengejar kesenangan dunia tapi jangan sampai melupakan tujuan akhir dari
hidup ini yaitu mencari kesenangan akhirat
(surga Allah), karena banyak manusia
didunia ini yang sibuk mencari kesenangan dunia dengan menumpuk harta
benda dan membanggakan anak-anaknya sampai lupa akhirat.
Peringatan
Allah dalam QS.
Al-Munafiqun (63):9 :“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah
harta bendamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Dan barang
siapa berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi”. Dalam QS
Al Ankabut ( 29 ) : 64 : “Kehidupan dunia ini hanyalah senda gurau
dan permainan belaka. Dan sesungguhnya negeri akherat itulah kehidupan yang
sebenarnya, sekiranya mereka mengetahui”.
Mari
kita menempatkan kepentingan akherat diatas kepentingan dunia dan jadikan
kepentingan dunia sebagai jembatan untuk menuju ke kesenangan akherat, dan
marilah kita tingkatkan keimanan dan
ketaqwaan kita sesuai dengan makna Syawal untuk bekal menuju hidup yang kekal
di akherat kelak. Taqobalallah minna wa mingkum (semoga amal ibadahku
dan amal ibadahmu diterma oleh Allah SWT). Amin!
*) EkoSupriyono, S.Pd.,
M.Pd. ( Guru Geografi SMAN
3 Nganjuk)
-