Puisi: Akhmad Jasimul Ahyak
Dialog
Laut Pasang
Pada laut,
Terangkai pulau jejak
Dari hati ke hati
Di sana memekik senja yang bersemedi,
Dalam lintasan semesta
Ombak pun berteriak berpesta-pora kata
Terombang-ambing di pelataran laut menjingga
Pada laut,
Mataku bicara, tentang syair yang
menenggelamkan kata
Sedang kalimat menciumi aksara di bibir
pantai,
Karena tidak ada lagi pelukan para si nelayan
Yang kini lidahnya terpasung lautan pasang
Di sini pantai menyendiri
Berselendangkan syair di pucuk pasir
2020
Tangis
Siul Sang Betina
Aku menjalar di setiap sudut jalan gelap
Gemuruh langit pun meregang
Mengikuti ke mana laju kakiku melangkah
Sedikit ada rasa yang menakutkan
Karena hujan...
Sebentar lagi datang
Tiba-tiba
Hujan pun membasahi tubuhku
Aku gemetar...
Takut oleh getaran kilat menyambar
Laksana blitz kamera menyinari wajahku
Aku keburu mencari keteduhan
Menuju rumah lokasi gang buntu
Suara hujan begitu riuh bergemuruh
Dinding rumahnya semakin melukiskan embun
Aku pandang titik ke arah langit rumah
Hanya kesunyian semakin menuju hampa
Kini aku terjebak dan tenggelam
Ke dalam palung tanpa cahaya
Seketika...
Aku melihat sepasang mata mengintip di balik rumahnya
Rasa takutku semakin menjadi
Bersarang di daging, meresap ketulang-tulang
Mulutku berdoa komat-kamit sambil baca mantra
Bismillahirrohmanirrohim
Wahai roh jahat penunggu rumah
Kuminta tinggalkan aku
Kuminta jangan ganggu aku
Kokoh Allah, teguh Nabi Muhammad
Dengan bibir penuh kaku
Doa mantraku tak henti kubaca
Akhirnya sepasang mata tak terlihat lagi
Berganti siul tangis seorang perempuan
Perlahan dan sangat lembut
Ia berkata, tolong aku?
Kudengar suara isak tangis
Penuh hening di balik pintu rumahnya
Dengan rasa gemetar
Aku lihat dari celah jendela yang agak
menganga
Mataku berkaca-kaca rasanya tidak percaya
Dalam remang lampu temaram
Aku melihat sosok manusia betina
Berkerudung, berkacamata
Pipinya merah merona tertumpah air mata
Pas jam 12 malam
Aku tak takut lagi membuka pintu dan mendorongnya
Penghuni rumah menoleh kepadaku
“Dia sudah tahu”, aku masuk kamarnya
“Permisi”, kataku
Dengan rasa takut dia pun tidak menjawab
Bungkam membisu
“Maaf mengganggu”, kataku lagi
Dengan mulut tersungging, hanya suara penuh sesak
“Aku ingin menikmati keheningan malam
Bersama ibu”, jawabnya
“kamu hanya berdua
Tidak ada siapa- siapa
Sedangkan ibunya Sekarat dan kaku
Bawa dan periksa ke dokter”
“Aku tidak punya apa-apa”, jawabnya
Jam 4 subuh
Suara adzan berkumandang
Aku hanya diam tanpa sapa
Isak tangis sang betina terus mengeratkan air mata
Meratapi ibunya yang terbujur kaku
Kedua genggaman jemaripun tak mau lepas
Aku hanya bisa menatap perempuan tua di pembaringan
Anaknya hanya membasuh debu
Yang masih melekat di sela-sela keriput kulitnya
Sehabis subuh
Suasana menyeru resah
Karena sang ibu si betina
Kini tanpa nafsu tanpa nafas
Seketika dia menjerit, menangis
Atas ajal ibu yang sudah tiada
Tuhan, kau boleh ambil nyawa ibuku
Tuhan, kau boleh cabut nafas ibuku
Asal engkau semai benih kasihnya
Ibunya telah pergi
Si betina kini redup dan rapuh
Cahaya wajahnya mulai lumpuh
Pagi sepi menatap waktu
Hari kematianpun sudah berlalu
Air mata terus berlinang
Membasahi kacamata yang ia pakai
Dan menetes pada pipinya
“Sekarang aku harus kemana ibu”
“Kepergianmu kau ciptakan sendu
Untukku”, kata mereka
Lara kini berhuyung-huyung di dalam rumahnya
Hanya sang betina dalam kesendirian
Dengan mata sembab meratap pilu
Tinggalkan luka dihatinya
Wahai “Sang betina”
“Apa yang terjadi tak kan bisa kembali
Sekarang cukup satu yang harus kau cari”
“Saya tidak mengerti
Sedangkan aku belum kenal kamu”, jawabnya
“Aku adalah penyair”
“Aku adalah penolongmu”
Ya, “Tapi kamu bukan siapa-siapa aku
Juga bukan saudara aku”
Kini si betina hidup kesendirian
Hanya mendiami rindu
Tak lagi terdengar suara ibunya
Yang kerap menziarahi tubuhnya
Aku adalah penyair sengsara
Sekarang aku ingin pergi bersama waktu
Wahai sang betina!
Sekarang aku juga butuh sepi
Ingin mencari mimpi yang sedang menepi
“Sementara aku sendiri,
“Tidak punya siapa-siapa”, kata sang betina
Tapi kamu punya Tuhan
Yang selalu menemanimu disepanjang hari
“Ya, tapi aku butuh orang bukan Tuhan
Aku butuh teman pengganti ibu”, jawabnya
Sisa hari telah berduka
Sejumput jiwa yang dipanggil
Kini masih menyisakan tangis yang menggigil
“Wahai sang betina”
Perjalananmu hampir sampai
Tetesan kedukaanmu akan berakhir
Lelahmu akan terbalaskan
Dengan air telaga kebahagiaan
“aku tidak mengerti tuan”, jawab sang betina ketakutan
“Maukah kamu ikut bersamaku?
“Tidak”, aku takut dosa, aku takut Tuhan!
Engkau adalah betina cantik, tapi tidak tau apa-apa
Engkau akan kubawa berjalan bersama Tuhan
Pada petapaan rindu di taman surga
“Aku tidak tau apa yang tuan katakan”
Wahai si betina!d
Dengan wajah cantik melekat ditubuhnya
Kan kujadikan engkau permata
Di pelaminan menuju Tuhan
Engkau akan kugelar istri
Dan kukalungkan rindu pada Sang Ilahi
Mendengarnya sang betina kaget
Sambil menghela nafas lebih dalam
Kini siul tangis sang betina
Menjadi siul tawa gembira
“Akulah sang betina yang lagi sengsara
Juga tidak punya apa-apa”
Kni lemah tak berdaya
Oleh cinta sang penyair lara.
2020
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.