Markusip dan Marlojong di Mandailing
Artikel Budaya: Yant Kaiy
Berawal dari saling tatap, pandang-memandang, entah sengaja
atau tidak berlanjut dengan kerlingan serta senyuman di bibirnya. Akhirnya
kedua insan berlainan jenis tersebut sepakat melakukan ’markusip’, yakni
berbisik-bisik di kegelapan malam.
Konon, tempo dulu, bagi masyarakat Mandailing di Tapanuli
Selatan, Sumatera Utara, berpacaran di tempat terbuka antara pasangan dua
sejoli justru dianggap tabu. Kecuali, bagi mereka yang telah dimabuk asmara,
dapat melampiaskan keinginannya melalui markusip.
Menurut para sesepuh setempat, markusip yaitu berbisik-bisik
antara kaum Adam yang berada di kegelapan malam di luar rumah dengan kekasihnya
yang berada di kamarnya. Umumnya rumah-rumah di sana beranjungan dengan lantai
yang tingginya sebatas bahu orang dewasa. Sedangkan ’percumbuan’-nya dilakukan
melalui lapisan dinding atau lantai papan yang tidak rapat, atau lubang dinding
yang sengaja dikuakkan beberapa centimeter bagi percumbuan tersebut.
Namun
adakalanya, sebelum acara markusip, si jejaka memerlukan bantuan orang lain,
dalam hal ini bertindak sebagai perantara hubungan cinta, yang oleh masyarakat
Mandailing disebut ’talangke’. Talangke inilah yang bertugas mengumpulkan
sebanyak mungkin keterangan tentang diri si wanita, memata-matainya, termasuk
juga dalam memastikan di mana letak kamarnya, agar markusip tersebut nantinya
tidak keliru.
Apabila si pemuda dengan rumah kekasihnya berlainan desa, maka
umumnya si perjaka membawa beberapa pengiring guna menghindari prasangka buruk
masyarakat di sekitarnya ketika sedang ber’markusip’, atau bahkan melakukan
pendekatan dengan para pemuda di sekitar rumah si wanita itu.
Dalam melakukan markusip, kedua insan yang berlainan jenis
tadi dengan bebas dalam menumpahkan segala suka-duka masing-masing, diselingi
perang pantun serta sindir-menyindir sebagai ’pemanis’ dalam bercumbu, kendati
pun kedua insan sejoli tersebut dibatasi dinding yang terkuak hanya sedikit.
Acara markusip ini adakalanya bubar menjelang subuh.
Namun dalam markusip tidak selamanya akan berjalan mulus
hingga kedua insan itu bersanding di pelaminan. Misalnya karena tidak mendapat
restu dari orang tuanya. Kalau hal ini terjadi, maka adat juga memberi
kelonggaran guna melakukan ’marlojong’, atau lazim disebut kawin lari. Yaitu
dengan cara mencuri si gadis dengan memberi tahu pada pihak orang tua
sebelumnya, dalam bahasa di sana disebut tangke
binoto. Atau, dapat juga membawa langsung si gadis itu ketika melamar,
tetapi tidak ada kata sepakat tentang besarnya mas kawin. Umumnya setelah
melakukan marlojong, kedua belah pihak akan berdamai.
Markusip dan marlojong yang tadinya dibenarkanoleh adat,
tetapi kini agaknya telah mengalami perubahan tata nilai di Mandailing. Hal ini
sudah sering penyelesaiannya dilimpahkan pada pihak yang berwajib oleh pihak
dari orang tua si gadis. Kalau dulu, penyelesaiannya diserahkan pada tetua adat
sehingga kadang dapat berjalan mulus menuju pelaminan. Si gadis tetap di
kamarnya, sedangkan pasangannya tetap berada di luar rumah berbalut kain sarung
menahan dingin angin malam. Sang perjaka menempelkan pipinya pada dinding yang
berlubang sedikit. Apabila sudah begini, maka biasanya tikus liar serta nyamuk-nyamuk
nakal yang menggigitnya ia takkan pedulikan. Itulah sedikit tentang markusip
dan marlojong yang sekarang hanya tinggal kenangan.[]
-Diolah dari
berbagai sumber.
Publish: Koran Jaya
Karta (17/1/1992)
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.