Selamat Jalan, Tina…


Cerpen: Yant Kaiy

Langit tersaput mendung. Awan hitam berarak ke selatan. Gerimis mulai bertaburan indah. Seindah wajah Tina pagi ini. la adalah siswi paling populer di SMA-ku. Juga sebagai foto model di kotaku. Orangnya memang cantik. Matanya bulat tetapi tidak memberi kesan galak. Alis matanya hitam melintang. Bibirnya merah merekah seolah selalu tersenyum.

Rambutnya legam tergerai, dipotong sedikit ke atas bahu dan ada poni menjuntai yang dihiasi bando warna merah. Aku tak tahu istilah apa untuk model rambut seperti itu. Namun yang aku tahu untuk potongan potongan seperti itu sekarang lagi “in”.

Deg. Degup jantungku melecut. manakala pandangan kami bersirobok. Sepasang mata indah itu sekilas menyapuku. Namun, cepat-cepat ia menundukkan muka ketika aku tersenyum sinis padanya. Ya, sikapku terhadap Tina memang kubuat demikian lantaran ia teman sekelasku sekaligus musuh bebuyutan.

Sekilas kulihat ada rona semburat di wajahnya dan sedikit gelagapan atas
pandangan yang tak sengaja itu.

Sebelum jam pelajaran pertama dimulai, sepertl biasanya, aku danToni serta Anton duduk di barisan samping depan, kelas III A2 biologi. Aku cepat-cepat memperbaiki dudukku. Aku cepat-cepat memperbaiki sikap ketika dari jauh kulihat lenggang Tina diiringi kedua sehabatnya, Melati dan Rini. Mereka berjalan lewat depan mataku. Tak sepatah kata pun yang keluar dan mulut mereka. Kendati samar-samar tadi diluar kelas mereka berkicau.

Ya, mungkin merasa segan atas sikapku. Atau memang menganggap diriku tak ubahnya debu yang tak nampak di matanya. Gemas dan mangkel aku dibuatnya. Akibatnya suara usilku pun mencuat;

“Tumben, pagi buta sudah nyergap kantin, kemarin baru dapat SDSB, ya?". sindirku. karena aku tahu mereka bertiga tadi dari arah kantin. Rupanya pancinganku mengena, langsung Tina membalikkan tubuhnya sembari menukas;

“Ih, apa urusanmu !?", pipi itu merona dengan bibirnya sedikit terangkat ke atas. Sensual. Ekspresi seperti inilah yang kerap membuat dadaku terguncang. Ekspresi wajah yang tambah manis jika ia marah. Duh.

"Aku 'kan cuma nanya?,” jawabku seenaknya sambil mempermainkan permen karet yang ada di mulutku.

“Tapi jangan nyindir, dong.”

"Aku tak merasa dan tak sengaja menyindirmu,” elakku.

"Kamu sukanya memang selalu mencari gara-gara.”

“Kamu yang memulai.”

"Kamu.”

“Kamu.”

“Kamu sok kaya.”

"Ah, kamu yang kebangetan. Ka… mu“ " kalimatnya terputus menahan isak tangis. Biasa, dasar cewek. Tersinggung sedikit langsung “mewek”.

Tapi kalau dia sudah menangis, ada ‘kebanggaan’ yang samar-samar menjalari dadaku. Aku merasa menang, bisa menaklukkan hatinya. Agar ia sadar jika aku suka terhadap kepeduliannya. Bah… cara apa ini! Cara aku sendiri 'kali untuk menundukkan keangkuhan primadona itu.

Padahal caraku untuk menarik kepeduliannya, sesungguhnya amat bertolak belakang dengan jiwaku yang paling dalam. Aku terus terang amat menyesal. Iba sekali jika Tina menangis. Tapi keangkuhan serta ketidakacuhannya itulah yang sok membuat awak ini penasaran. Sombong. Tinggi hati. Hingga diantara kami ada jarak. Sebenamya aku ingin menggaetya untuk kuajak latihan. Baik latihan basket atau drama.

Tapi Tina memang tertutup, khususnya untukku. Jujur saja, aku memang iri sama kecantikannya itu. Dan kecantikan itu pula yang selalu menjadi perbincangan panjang teman-temanku. Kelompok cowok.

***

Seminggu sudah aku menunggu Tina masuk sekolah. Aku ditindih gelisah. Dan sekolah itu rasanya kian gersang. Tidak menggairahkan. Rasanya aku tak tahan menahan gelora di dada. Aku heran, kemana saja dia? Sakitkah? Atau mungkin menderita atas sikapku yang terus menerus menerornya?

Wajah itu terus menari-nari di anganku. Membuntutiku kemana saja aku berada. Di kamar mandi, di WC, di ruang belajar, di langit-langit kamar tidurku. Wajah Tina terus menempel. Wajah yang membersitkan kesedihan lantaran selalu kumusuhi.

Tapi dia memang tidak pernah tahu apa yang terpendam di hati ini, kalau hanya dengan cara 'menerornya' itulah aku bisa mendapatkan perhatiannya. Ya, hanya dengan jalan itu. Oh Tuhan, betapa diri ini berdosa dan berbohong pada diri sendiri. Aku menyesal.

" Rin, tunggu sebentar!” Aku berlan kecil mendekati Rini.

" Ada apa pakai teriak-teriak segala?! " balas Rini.

"Eh. Mmm kemana dia?"

" Dia siapa?“

" Eh. Ti… Tina. Seminggu kok masuk?"

“Sakit. Kenapa?"

" Sakit? Betulkah Rin? Sakit apa?“

“ Ya, penyebabnya mungkin kamu!  Sakit hati pada kamu,” jawab Rini yang membuatku sedih. Tersiksa. Aku tercekat. Diam. Nafasku mulai tersengal menahan penyesalan.

Akhirnya aku berucap dengan suara setengah gemetar, "Rin."

Rini mencermati perubahan wajahku.

" Tolong...” lanjutku. " Katakan padanya, aku mohon maaf atas sikapku selama ini pada dia. Dan sesungguhnya di dasar dadaku tak pernah ada apa-apa padanya kecuali. Suaraku tersendat Berat rasanya untuk mengungkapkan gejolak hati yang sebenamya. Tapi aku tahu Rini adalah seorang sahabat yang baik hingga aku pun berterus terang.

" Kecualu…aku ingin diperhatikannya, Rin,“ lanjutku lagi penuh kejujuran.

“Tapi…”

" Rin aku menyukainya. Aku mengaguminya... "

Rini menatapku lurus-lurus. Rini sepertinya menangkap kesedihan serta penyesalanku itu.

" Tok…” katanya. "Aku mengerti perasaanmu. Dan sebenarnya aku kemarin disuruh Tina untuk menyampaikan surat ini padamu. ”

" Oh?“ Cuma itu yang keluar dari mulutku. Dan aku pun segera membuka surat warna merah jambu itu. Dengan gemetar kubaca isinya.

Totok yang baik.

Mungkin kamu akan terkejut. Aku rela kendati kamu selalu memusuhiku. Tapi rasanya tak ada cowok lain di dunia ini kecuali kamu yang aku sayangi. Aku mengagumimu, Tok. Dan maaf… aku mencintaimu.

Aku: Rostina.

" Rostina?" desahku. Ya. hanya desah itulah yang keluar dari mulutku. Ehtah kenapa tanpa sadar permukaan kertas harum itu telah kuyup. Basah oleh air mataku.
***

Dengan langkah gontai aku berjalan balik ke rumah. Aku pun langsung merebahkan badan. Membenamkan rasa gundah. Tapi belum sampai beberapa saat lamanya, Rini dan Melati menyusulku. Aku amat terkejut oleh kedatangannya.

"Tok.Tina..Tok! Tina..!!!"

" Kenapa Tina?!" tukasku terkejut karena keduanya Iangsung menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Menangis.

“Tina meninggal, Tok!“ raungnya histeris.

" Ya Tuhan..." mataku berkunang-kunang seperti tak percaya berita dari kedua sahabatku. Tapi inilah kenyataan dan aku pun berucap lirih, “ Selamat jalan, Tina!"

Ya. hanya itu yang keluar dan mulutku. Senja kian tenggelam. Memadu langkahku yang bergegas di sebuah gang yang menghubungkan rumah Tina.[]


Pubblish: Koran Karya Darma (15/6/1991)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Soa-soal Bahasa Madura Kelas III

Soal dan Kunci Jawaban Bahasa Madura PAS Kelas IV SD

Soal-soal Bahasa Madura Kelas IV SD

Sosialisasi Persiapan Seleksi Kompetensi CPPPK 2024 Tahap II di SDN Pasongsongan 1 Sumenep

Imanur Maulid Efendi dan Ahmad Buhari: Pendamping Setia Guru Honorer Kecamatan Pasongsongan dalam Rekrutmen PPPK 2024

Kepala SDN Panaongan 3 Sumenep, Sibuk di Masa Libur Sekolah 2024

Apresiasi Tim Penilai Kinerja terhadap Kepala SDN Panaongan 3 dalam Program Literasi dan Numerasi

Dahsyat, Ramuan Banyu Urip Sembuhkan Segala Penyakit

Kepedulian Agus Sugianto dalam Membantu Guru Honorer pada Seleksi PPPK Tahap 2

Rapat KKKS Kecamatan Pasongsongan di SDN Panaongan 3: Apresiasi Prestasi Peserta Didik