Sungai Darah Naluri (28)
Novel: Yant Kaiy
Aku takut kembali terjebak di tengah kota kumuh ini,
lantaran begitu sulitnya aku menemukan wajah baik, mana yang jahat, mana wajar dalam bersikap terhadap sesamanya. Benar-benar bodoh dibuatnya.
Usiaku semakin senja.
Aku masih ingin menguak beragam misteri yang
melekat di raga sebelum ajal menjemput, lagi pula cinta yang membisikiku agar buldoser
serakah senantiasa bergerak maju terhadap perumahan kumuh milik kaum jelata. Sekali gerak belalai
buldoser tersebut, habislah riwayat kekumuhan perkampunganku di pinggiran kota ini. Dulu aku sempat terpuruk
dalam sedih,
hanya menyaksikan dari kolong jembatan peristiwa yang tak mungkin aku
tinggalkan, karena di perkampungan rata dengan tanah itulah aku bisa bernafas dan besar
dari lingkungan buruk menurut kaca mata tata letak kota yang sesungguhnya, aku
hanya dapat menangis dalam hati, merintih penuh kecewa terhadap sistem ganti rugi. Tak kuasa hati nurani menahan
benci berselimutken dendam, entahlah dendamku terhadap siapa...? Kini aku tak
memiliki apa-apa,
kecuali mesin ketik dan buku usang yang berisi tenteng ramalan cuaca serta hari
baik menurut nasib, bukan apa-apa, lantaran sebagian nyawaku ada dalam tas kecil yang kutenteng dalam perjalanan harga diriku detik ini.
Kuucapkan selamat tinggal bagi masa kecil yang
tak lepas dari beragam nostalgia. Kadang aku tak sanggup menyimpan rasa amarah membuncah membakar
sekujur raga tanpa henti, namun apa dayaku, aku hanya memiliki tubuh kurcaci; lemah, tak berdaya akan angkara murka,
tak kuasa membendung hantaman banjir melanda perkampungan kumuh, tak terpikirkan melanggar bagi keselamatan orang lain. Ada sesuatu yang harus aku
selesaikan sebelum meninggalkan perkampungan masa silam nan kelam.
Kemudian kuletakkan sesuatu sebagai ungkapan perpisahan abadi, yakni semacam
sesaji pengusir
roh halus yang seringkali mengutuk pembangunan menjadi gagal total dan tak luput
pula menjadi bencana bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya, semacam kutukan tak mungkin dilepaskan
dari sebagian bencana kecil
tak kenal iba. Jiwaku bagaikan sebuah patung, tak bergerak dan maju
karena
gerakan angin dan turun hujan.
(Bersambung)
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.