Sungai Darah Naluri (32)
Novel: Yant Kaiy
Terkadang
harus meninggalkan iba kaum bawah dengan beragam syarat harus dipenuhi; mulai dari potret
wajah yang harus menawan bagi siapa saja: Berpenampilan ramping bagi seorang wanita, bersahaja dalam bersikap, menarik di depan para
hadirin di atas panggung model sebagai ratu kecantikan, tidak diperkenankan menghilangkan rasa hormat
terhadap pimpinan yang memberi setetes perhiasan dunia sebagai balasannya, tinggi
badan serta berat turut berperan bagi calon tenaga kerja untuk dimasukkan dalam
kategori terbaik dan ditempatkan pada bagian vital di sebuah ruangan tak sehat,
demikian pula dengan cara berbusana harus rapi tanpa menghilangkan kesan orang baik-baik kendati ada bercak
kecil yang wajib ditutupi bedak impor dari negara yang pernah menjaga gengsi dan nama baik, lantaran sulit bagi pimpinan untuk
mendapatkan barang-barang impor yang menyangkut hak asasi bagi anak buahnya, dan ada lagi persyaratan yang
saat ini seringkali menjadi
ajang perdebatan di berbagai kalangan yakni tentang
pengukuran kemaluan bagi calon tenaga kerja.
Wow... pokoknya seru... Berbagai penelitian
yang bersumber dari genetika, psikotehnik, etika dan lain semacamnya terus-menerus digali dan
dianalisa hingga ke akar-akarnya. Begitu berat memang. Tidak jauh berbeda dengan pengkotak-kotakan masyarakat yang ditentukan dari lahiriah saja,
karena masalah hati adalah persoalan Tuhan...
Aku terkatung-katung mengenang masa lalu, karena aku tak mampu
untuk membeli sekaligus menekuni sekolah - sekolah yang nantinya mengeluarkan
sertifikat alias pengakuan dari yang berwajib, namun bukan sekadar koleksi semata. Semua tak mungkin
dipertanggung-jawabkan sebagaimana mestinya dalam mengantisipasi modernisasi tak jarang meninggalkan wajah tradisi lama tak jarang mengingkari kemanusiaan itu sendiri. Aku seringkali dipertemukan pada dua sisi berbeda jauh mencekam, sebagian ada yang tak
mungkin salah satunya harus
aku korbankan, di sinilah letak strategis dalam kekalahanku mengimla sebuah jalan ke luar,
bukanlah hanya gerak yang menakuti sesamanya. Kans yang selaksa terpotong-potong tak bisa lagi untuk kusatukan
kembali dalam arti yanglebih bersahaja dan antusias. Tak jarang kata hati
berbeda dengan gerak saban detik yang tak pernah kusetujui ternatal. Aku
senantiasa dihinggapi perasaan tak keruan, berkecamuk, laksana perang di padang
pasir. (Bersambung)
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.