Sungai Darah Naluri (41)
Novel: Yant Kaiy
Seperti orang buta
kehilangan tongkatnya. Atau orang tidak tahu arah kehilangan kompas
kesayangannya. Semua akan amburadul. Semua orang sepakat, sedia payung sebelum
hujan akan memudahkan hijrah ke tempat lebih baik dari sebelumnya. Tapi lupa
adalah penyakit takkan pernah hilang dari sungai ingatan, mengalir ke sekujur
lereng bukit keinginan tak berpantai.
Aku terbungkuk diantara kekalutan.
Terbakar api derita.
Mengapa harus kubiarkan sengketa hati...?
Terdampar mengurung sesal.
Aku menyayanginya
lebih dari apa pun.
Tapi usia manusia
tiada siapa yang tahu.
Rahasia Ilahi.
Dari pagi yang melegakan pernafasan akan alam
terbuka lebih luas ruanggeraknya. Ada tetes-tetes embun kebersemangatan di ranting renungan
nasib selanjutnya. Tak kalah menariknya dari sebuah teriakan mogok kerja yang
tumpah di halaman hijau. Bagai semut yang mengerumuni sepotong gula. Aku tak dapat mengatakan bahwa jalan yang kami
kembangkan merupakan suara bulat menjurus pada kemenangan.
Entah mengapa malam
ini seonggok ketakutan kembali berkelebat diantara bayang-bayang wajah orang
yang pernah menemaninya sekian lama. Wajah tercinta itu melintas diantara
langit malam tak berembulan. Rekaman kemesraan itu terus bergelayutan di alam
gaib, berganti kesepian hati mencekam.
Aku kembali terdampar
pada keping-keping penyesalan sehingga membiarkan maut menjemputnya. Bukan aku
tidak terima terhadap takdir-Nya. Tak ada siapa pun mampu menghalau daun jatuh
dari tangkainya ke bumi tempat berpijak. (Bersambung)
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.