Sungai Darah Naluri (42)
Novel: Yant Kaiy
“Ayah...” Suara teriakan dari kamarku,
walau tak terlalu keras pada malam kelima puluh tujuh kematian istriku.
Ah, aku cepat tersadar akan anak lelakiku yang
tidur seorang diri, tanpa teman. Buru-buru kutinggalkan meja mesin ketikku, terpaksa.
Padahal aku lagi asyik menulis karya fiksi masih belum selesai yang rencananya akan
kukirimkan ke media massa cetak besok. Yah, aku hidup bersama istri dan anakku dari peluh dunia sastra. Dunia sarat derita, banjir sengsara…
Entah sampai kapan aku harus bertahan di indahnya inspirasi yang mengembara sepanjang waktu, bergulir l...
“Ayah...” Panggilan kedua kalinya dari anakku, iramanya kutangkap pilu, lantas aku
terbawa pada belai kasih sayang sangat dibutuhkannya seusia anakku. Ia seolah aku masa lampau dari dunia tanpa
perhatian dari seorang lelaki, penyebab aku lahir ke alam fana ini
" Sebentar sayang, ayah ada di sini,” sahutku menenangkan kekalutannya sebisa angin berhembus tenang.
Kemudian kuselimuti tubuh mungil itu, masih hijau di kelopak mataku. Andai
istriku masih ada, tentu aku dapat merdeka menuangkan gerak otakku, sekadar mencari
sesuap nasi.
0… Tidak! Aku tidak boleh membangkitkan keinginan yang sudah terkubur bersama waktu. Biarlah yang pergi takkan pernah kembali, sebab hal tersebut kehendak-Nya.
Kami lalu terlelap di sebuah dunia yang
hilang. (Selesai)
Pasongsongan, Juni 1994
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.