Antologi Puisi Fragmen Nasib (1)
Karya: Yant Kaiy
Pengantar Penulis
Puji syukur tak
terhingga saya
panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan
nikmat-Nya
sehingga saya
dapat mengumpulkan beberapa puisi kembali dengan judul "Fragmen Nasib". Harapan saya hanya segelintir, semoga puisi ini menjadi prasasti bagi keturunan saya
kelak. Saya yakin hal ini akan menjadi
kenyataan. Kendati barangkali kumpulan puisi
ini tak berarti apa-apa di peta kesusastraan tanah air, tapi paling tidak sudah bisa mewarnainya.
Tegur dan sapa tetap saya nantikan apabila
dalam kumpulan puisi ini ada banyak kekurangan dan kesalahan.
Semoga kita berada dalam lindungan-Nya.[]
Pasongsongan-Sumenep, akhir Juli
1988
Pelita Kecewa
kekecewaan
membanjiri sungai harapan
lalu ladangku porak-poranda
berantakan terukir
di jatidiriku sepanjang jalan
kecewa terpuruk di
sela-sela terang kesepian
keresahan mencambuk benak, sedih
melanda
kuterjaga kala mentari menyengat renta sekujur asa
melapuk segala
gamang, kesucian terlahir dari noda menumpuk
sesekali kuteguk
beraneka arak kemenangan yang tertumbal
diantara gaduh
kemelaratan menggapai impian, kepuasan batin
hanya setetes
kebersemangatan mendamari liku hidupku
tumpah ke lantai bumiku. Deras
terbawa ke muara, riang tak terkira
mengandai dongeng
masa lampau tercipta lewat percikan suara
kidung mengimbas,
mata terpejam, nafas terengah…
kuterus telusuri
lorong gua mendaki berduri,
sumbang kedengarannya.
Sukar kumengimla huruf mendung
senantiasa tertunduk hasratku di sini
tersumbat jalan
gerakku menanti amarah meledak
bersatu abadi
dijerat kebuntuan pikiranku menyulam hari
ada bait
kegersangan mendepak kesendirianku ke lembah lara
bersyukur kubentangkan
selembar keteguhan naluri
mencabik isyarat
terus kutelusuri. Mengalir perjuanganku,
lenyaplah kuntum
semerbaknya tersapu angin siang
bersarang patah
hatiku mengaji tubuh luka penuh keringat tak darah
luluh-lantak kalimat yang terurus minggu kemarin di kamar mandi,
sengaja memang
kubersikap demikan. Mata
tak sanggup menatap
pemandangan
mengerikan, ada berjuta manusia menutup telinganya,
apalagi diriku yang
lemah jantung, percuma kalian merayu
daun kupingku
takkan pernah menghiraukan
lantaran jivaku telah terbui, mengemasi sisa-sisa hidup
biarlah suaraku menghilang.
Bangkit asaku menabuh rebana
terpatri kembali
niat semula menumbangkan kesombongan.
Sumenep, 24/07/1988
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.