Belenggu Protokol Kesehatan di Madura



Catatan: Yant Kaiy

Ada filosofi orang Sumenep berbunyi: Je’ nobi’an oreng mon ethobi’ sake’. Terjemahan bebasnya begini: Jangan suka mencubit orang lain, jika dirinya merasa sakit kalau dicubit.

 

Filosofi ini memberikan pendidikan moral cukup dalam kendati terdengar sederhana. Acapkali perilaku kita alpa, terbuai sukses dunia. Menanggalkan perilaku luhur sebagai manusia seutuhnya. Sehingga yang tersisa bahasa pintar namun gombal. Kalimat puitis mengelabui banyak umat.

 

Protokol Kesehatan (Prokes) yang katanya untuk menekan kian melebarnya pandemi Covid-19 di tanah air, ternyata membuat sebagian besar rakyat kian sengsara. Suka tidak suka, realita itu terjadi di sudut-sudut desa. Sistem penyekatan di beberapa wilayah Pulau Garam Madura (Juni 2021) semakin memperburuk penderitaan warga masyarakat.

 

Memang tujuan pemerintah baik. Menyelamatkan warganya dari paparan Covid-19. Tapi itu argumen sepihak dari pemerintah. Mass media berjamaah menyuarakan aspirasi kaum elite dan abdi masyarakat (katanya) penikmat pajak. Bukan mengulas tuntas persoalan masyarakat akar rumput terdampak langsung Prokes.

 

Pemerintah terus menjalankan aksi propaganda menakut-nakuti rakyatnya sendiri. Pemerintah punya polisi, tim medis, tentara dan lainnya sebagai amunisi menancapkan doktrin bahwa Covid-19 merupakan virus yang sama bahayanya dengan senjata kimia.

 

Mereka seolah-olah tutup mata-hati terhadap ampera (amanat penderitaan rakyat) warga Madura. Andai mereka berada di posisi sebagai rakyat jelata; kerja hari ini untuk dimakan hari ini pula. Sudah pasti mereka akan berteriak lantang kalau Prokes adalah derita baginya.

 

Andai pemerintah berkuasa mau mengimplementasikan filosofi Madura: Je’ nobi’an oreng mon ethobi’ sake’, mungkin ceritanya akan berbeda. Paling tidak ada secuil arah perubahan lebih baik.

 

Beruntung masyarakat di Madura tergolong penduduk tangguh. Mereka tetap menghormati pemimpinnya demi tetap tegak dan utuh NKRI.[]

 

Yant Kaiy, penjaga gawang apoymadura.com