Melongok Sakralitas Adat dan Cantiknya Kampung Badui Dalam
Catatan: Herry Santoso
Kami pernah ke "sarang" Badui tahun 2014. Tujuan kami mencari ramuan tradisional yang (konon) sangat manjur untuk kanker payudara. Ya, istri saya (waktu itu) mengidap penyakit mematikan dan amat ditakuti kaum hawa itu. Atas informasi seorang keponakan yang kerja PT Krakatau Stell Cilegon, akhirnya dengan segala cara kami meluncur ke Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten, 12 Februari 2014.
Suhu udara 28 derajad celsius di luar sana cukup hangat dan ramah seramah layanan di hotel itu. Aku segera rebah. Siraman air hangat di kamar mandi pelan namun pasti mengenyahkan rasa penat sekaluligus menghadirkan kantuk setelah perjalanan nyaris sehari semalam dari kota Blitar dengan bus. Belum terpikirkan, apa yang akan terjadi esok saat mencari lokasi Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten tempat Suku 'Badui Dalam' bermukim.
Kultur Badui Diakui Unesco
BUS 'Geulis Trans' keluar terminal Rangkas sekitar pukul 9 pagi. Menembus kesibukan yang mulai menggeliat. Jalan mulus beraspal hotmix mengarah luruske selatan. Di sepanjang perjalanan tampak hamparan sawah yang mulai menguning diselingi perkampungan penduduk yang tampak tenang dan damai. Bus medium bermesin Hino itu berhenti di beberapa kota kecil, dan sesampainya di Kecamatan Bedengpasirkopo penumpang sudah penuh, bahkan di antaranya berdiri. Kini jalanan mulai menanjak dan berkelok-kelok. Suasana Badui mulai terasa. Di sepanjang jalan yang kami lalui, banyak orang berjalan kaki dengan tertib laiknya orang berbaris di sisi kanan kiri jalan.
"Kita memasuki kawasan Badui Luar, Boss !" ujar kondektur bus di sela-sela menarik ongkos ke penumpang. Jauh di selatan sana tampak deretan Gunung Belebeg, Gunung Mangurang, dan Gunung Bongkok. Barangkali di balik gemunung itulah perkampungan Badui berada.
Jalanan berkelok-kelok dan naik turun dan melalui banyak jembatan. Tampak di bawah jembatan itu mengalir air sungai yang jernih. Suasana alam begitu sejuk di bawah suhu 21 derajad celsius. Bus merangkak di sela-sela lembah meninggalkan raungan. Di sebelah saya ada sepasang bule yang tengah berbicang dengan bahasa Inggris logat Amerika. Ia menyebut kata Badui, dan Kanekes berkali-kali. Setelah sekitar dua jam perjalanan kami sampai di Terminal Sareweh.
" Ini terminal terakhir, Bapak-Ibu, " kata sang kondektur memberi tahu.
Ya, Desa Kenekes di pedalaman kawasan sekatan Rangkasbitung ini memang "go internasional" lantaran tradisi, adat, dan budaya etnik Badui yang mengagungkan lingkungan hidup dan sejak dahulu kala "back to natural". Bagi orang Badui, habitat alam dan ekosistem adalah bernyawa. Ia sekaligus punya "ruh" seperti makhluk hidup lainnya. Untuk itu kita harus bijak dalam menggunakan dan mengeksploitasi lingkungan hidup untuk kehidupan sehari-hari. Betapa menakjubkan, jika kedapatan seseorang menebang pohon tanpa izin tetua adat maka ia harus diberi sanksi adat yang setimpal, misalnya ketahuan nenebang pohon besar harus menggantinya 100 bibit tumbuhan baru yang sejenis dan ditanam. Semua itu demi keseimbangan ekosistem daerah Badui.
Suku Badui adalah sisa-sisa etnik 'Sunda Kawitan' yang terkenal itu. Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes, mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
Wajar jika dalam ilmu pengobatan tradisional Suku Badui sangat ampuh. Pendapat mengenai asal usul orang Kanekes (Badui Dalam) sendiri cukup unik. Pendapat para ahli sejarah, masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umun menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Kanekes sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.
Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928, menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Kanekes adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146). Orang Kanekes sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-orang pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5) orang Badui merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala' (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau 'Sunda Asli' atau Sunda Wiwitan (wiwitan=asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan.
Bukan cuma dalam menjaga lkosistem sekaligus dalam laku hidup sehari-hari dikendalikan oleh aturan adat dan keampuhan "japa nantra" warisan leluhurnya. Ia hidup tak tersentuh teknologi kekinian sama sekali dari piranti elektronik maupun perangkat lunak komputasi ataupun digital. Apabila seseorang asli Kanekes kedapatan nembawa ponsel misalnya, maka ia dianggap melaknati adat dan "haram" hukumnya.
Dari yang disebut terakhir, Suku Badui bukan saja menjadi suku yang eksistensinya diakui Unesco sebagai suku "penyelamat ekosistem" dunia, sekaligus sebagai destinasi spesial kuktural kuno yang masih bertahan di zaman kekinian.
Nah, untuk ke kampung Kanekes Dalam kita harus memenuhi persyaratan. Harus mendaftar ke pos penerimaan dengan nenuliskan tujuan ke kampung adat dan meninggalkan KTP. Syarat-syarat lain sebagai pantangan tidak boleh membawa barang-barang modern semisal ponsel, atau benda ekektronik lainnya. Satu di antara syarat itu yang agak nenggelikan mengenakan tanda adat seperti tudung kepala (udheng) bagi laki-laki dan selendang bagi tamu perempuan dan semua itu membeli di tempat. Bukankah ini sebagai praktik eksploitasi adat terselubung ? Hehe...
Setelah mendapat perlengkapan tadi kami diberi tanda pengenal sebagai "tamu" yang dipasang di dada dan berangkat secara berkelompok. Bagi kami yang mengejutkan harus berjalan kaki sejauh 5 km !
Karena (waktu itu) tujuan kami berobat ke seorang tetua ( peramu jampi-jampi) maka sesusah payah apa pun tetap kami lakoni. Ya, seperti sepasang bule dari Hoston, Amerika Serikat yang satu bus tadi ternyata juga mencoba pengobatan tradisional ala Badui. Entahlah penyakit apa yang diidapnya.
Akhirnya hari itu juga kami berjalan menyusuri lembah dan bantaran sungai. Dalam keadaan penat ingin rasanya kami mencebur je sungai berair jernih berkilauan itu. Saking jernulihnya, sampai ikan-ikan dan bebatuan tampak jelas di dasarnya. Bahkan beberapa orang sengaja nengambil air itu dan langsung neminumnya tanpa ragu-ragu termasuk pasangan bule tadi. Mentari sudah tergelincir di kaki langit ketija sampai di gerbang Kampung Kenekes Dalam. Udara mulai atis dan berkabut tipis. Kami berhenti di gerbang desa dan ada persyaratan lagi : tidak boleh beralas kaki. Tas dan bawaan lainnya termasuk perhiasan yang nencolok dab dompet (baca : uang) harus dilepas dan dititipkan ke petugas adat.
"Jangan khawatir semua barang berharga Anda tidak akan hilang! " kata petugas yang sekaligus sebagai penerjemah bahasa Inggris. Kami pun masuk ke perkampungan tradisional yang menakjubkan. Rumah-rumah sederhana berdinding gedheg (anyaman bambu) dan beratap rumbia (ilalang) berderet rapi dengan lingkungan yang bersih. Kedamaian benar-benar menyembul dari penghuninya yang ramah dan berpakaian adat Sunda Kawitan semua : serba hitam.
Luar biasa. Kami (khusus yang punya tujuan berobat) diantar masuk ke sebuah rumah besar (semacam pendapa). Mengisi formulir yang disodorkan petugas untuk menuliskan jenis penyakit yang diidapnya. Sembari nenunggu racikan obat kami dibawa ke ruang makan. Kesekian kalinya kami terkesima. Betapa tidak, aroma nasi hangat yang harum dan punel tersedia di bakul bambu sekaligus sayur urap, sambal, dan ikan wader goreng (ikan kecil-kecil mungkin hasil tangkapan dari sungai). Luar biasa kenikmatan yang kami rasakan di saat makan bersama dengan menu serba murni dari alam itu.
Hari mulai petang. Senja jatuh di Kanekes Dalam. Musik alam (nyanyian margasatwa) mulai bersenandung. Rembulan bundar menyembul dari celah bukit. Lebih-lebih ketika melongok keluar, di semua rumah adat itu tampak cahaya lampu pijar (dian) berpendaran. Sungguh paduan pesona alam dan tradisi yang aduhai. Sulit dibayangkan. Kami menginap semalam di Kanekes Dalam dengan seribu mutiara adat yang masih mengikat. Paginya kami meninggalkan "kampung khayangan" setelah menerima sebungkus besar ramuan jampi-jampi untuk 3 bulan buat istri saya. Kami tercengang lagi ternyata semua akomudasi tersebut hanya nembayar seiklasnya, kecuali ramuan jampi dan sebotol madu asli...[]
Dituturkan dari pengalaman : Herry Santoso
Editor : Yant Kaiy
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.