Perda Ngibul Bantuan Hukum
Oleh: Sulaisi Abdurrazaq
(Direktur LKBH IAIN Madura)
"Kalau ahli hukum tak
merasa tersinggung atas pelanggaran hukum, sebaiknya dia jadi tukang sapu
jalanan". Pramoedya Ananta Toer (Penulis dari Indonesia 1925-2006).
DOSA jariyah yang tidak akan pernah putus adalah
dosa anggota DPRD dan Pemkab Pamekasan pembuat Perda No. 10/2015 tentang
Bantuan Hukum. Kecuali Perda itu diperbaiki atau dicabut.
Kita tidak tahu apakah Perda Bankum itu inisiatif
eksekutif atau legislatif. Tapi paling tidak, kami tidak akan berhenti untuk
mengkritik dan mengoreksi produk hukum, meski selama ini masih melalui
upaya-upaya FGD, telaah dan diskusi, lalu membentuk public opinion untuk
menegaskan bahwa Perda No. 10/2015 tentang Bankum di Pamekasan mengalami cacat
substansi.
Cacat substansi dimaksud menyebabkan disorientasi.
Awalnya untuk menjamin warga tidak mampu agar mendapat akses keadilan (access to justice) dengan prinsip
equilitity dan kepastian hukum. Tapi nyatanya, hukum berakhir di tumpukan kertas.
Anggaran daerah habis hanya untuk menumpuk "sampah" yang tak kunjung
bermanfaat. Perda Bankum mengalami cacat substansi yang cukup serius dan harus
segera diatasi.
Untuk kepentingan diskursus akademis, Fakultas
Syariah IAIN Madura bersama DPC APSI Madura, pada 19
Maret 2019 menggelar Diskusi Terbatas dengan tajuk: "Telaah Terhadap Perda
Kabupaten Pamekasan Nomor 10 Tahun 2015 tentang Bantuan Hukum Untuk Masyarakat
Miskin", bertempat di Laboratorium Terpadu Fakultas
Syariah IAIN Madura.
Hasil-hasil diskusi menyimpulkan, bahwa Ruang Lingkup Perda Bankum Pasal 4 ayat (1)
dan Pasal 4 ayat (4) tidak memihak warga miskin yang terjerat kasus hukum,
melainkan justru memihak kepada pejabat yang terseret sengketa TUN.
Intinya, Perda tersebut hanya memberi legitimasi
untuk memberi bantuan hukum gratis kepada Pejabat TUN yang terjebak sengketa
TUN. Sementara dalam perkara pidana sudah benar untuk membantu terdakwa, namun
entah dengan reasioning apa Perda ini tidak dibuat untuk membantu warga yang
terjebak kasus-kasus perdata. Yang dibantu hanya terdakwa dalam perkara pidana
dan tergugat dalam sengketa TUN. Aneh bin ajaib.
Selain itu, terdapat catatan penting, yaitu, Pasal 8
terlihat bahwa penyusun tidak dapat membedakan antara pendampingan pada tingkat
litigasi dan non litigasi. Pada pasal
tersebut disebutkan:
"Pemberian Bantuan Hukum secara litigasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1) dilakukan dengan cara:
a. pendampingan dan/atau menjalankan kuasa yang
dimulai dari tingkat
penyidikan dan penuntutan".
Bagaimana bisa menjalankan kuasa pada tingkat
penyidikan dinilai sebagai pemberian bantuan hukum secara litigasi. Bukankah
makna pendampingan litigasi itu hanya di pengadilan dan tidak termasuk diluar
pengadilan.
Catatan lainnya adalah, pada Pasal 9 huruf a, Pasal
12 ayat (1) huruf a dan Pasal 19; Perda ini
hanya membatasi pemberian bantuan hukum hanya pada peradilan tingkat pertama.
Jadi, Perda ini tidak membantu rakyat miskin yang kalah pada tingkat pertama
untuk berjuang pada tingkat banding atau kasasi, apalagi Peninjauan Kembali.
Atmosfer diskusi dan suasana kritis terulang kembali
pada 7 Maret 2022 ketika Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pamekasan, Aliansi
Jurnalis Pamekasan (AJP), Forum Wartawan Pamekasan (FWP) serta Jurnalis Center
Pamekasan kompak menggelar kegiatan Ngopi Asyik Membincang Prodeo dan Hak Hukum
Warga Kurang Mampu bekerjasama dengan LKBH IAIN Madura bertempat di Aula Mini
Fakultas Syariah IAIN Madura.
Nara sumbernya adalah Kabag Hukum Pemda Pamekasan,
Direktur LKBH IAIN Madura dan representasi dari Kejari Pamekasan.
Pada momentum itu secara hyperbolic saya tegaskan,
meski sampai kiamat Perda Bankum No. 10/2015 tidak akan dapat direalisasikan
karena substansi Perda tersebut untuk memberi bantuan hukum kepada pejabat
secara gratis, bukan rakyat miskin.
Setelah itu media dan jurnalis menulis dan
menyebarkan informasi tersebut ke ruang publik. Tapi harapan besar saya,
jurnalis benar-benar mengawal masalah ini sampai Perda ini diperbaiki atau
dicabut.
Tujuan Bankum itu untuk membantu kaum mustadh'afin
serta mereka yang, meski bekerja sepanjang waktu, tapi penghasilannya tak cukup
memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Wartawan, akademisi, dan praktisi hukum dapat saja
mencari, apakah ada naskah akademik pada saat Raperda Bankum ini dibahas di
DPRD, apakah Perda tersebut inisiatif legislatif atau eksekutif.
Raperda memiliki justifikasi ilmiah dan dapat
dipertanggungjawabkan penyusunannya
apabila terdapat naskah akademik terlebih dahulu. Naskah Akademik itu
dilengkapi kajian filosofis, sosiologis dan yuridis.
Perda Bankum No. 10/2015 ini sejak 2015 sampai saat
ini tidak mengandung asas manfaat, hanya ada Perda, tak pernah/tak dapat
direalisasikan. Ibarat berhala yang dipahat oleh tangan-tangan seni dengan
susah payah, lalu menjadi pajangan. Tak ada manfaat, hanya dapat dilihat.
Anggaran di DPRD digunakan untuk membuat Perda bermasalah seperti ini.
Sampai saat ini, belum ada Perbup turunan mengenai
Bankum sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan, karena Perdanya
sendiri mengandung cacat serius yang menyebabkan kelumpuhan.
Dalam pandangan saya, siapapun Bupati dan anggota
DPR nya, bila tidak segera memperbaiki atau tidak mencabut Perda ini maka dosa
jariyah akan terus mengalir.
Jika tidak mau diperbaiki, ya dicabut atau
dibatalkan. Jika tidak, maka terdapat empat alternatif yang dapat dilakukan:
Pertama; jika
Perda itu inisiatif DPRD, lakukan legislative review.
Kedua; bila
eksekutif bertanggungjawab dapat melakukan executive review.
Ketiga; lakukan
judicial review melalui saluran Mahkamah Agung.
Jalan terakhir, revolusi rakyat miskin. Menekan penguasa memperbaiki, atau mencabut Perda No. 10/2015 tentang Bankum. Biar penguasa mencicipi ombak tak berpantai. Salam kritis dari kami, LKBH IAIN Madura.[]
Editor: Yant
Kaiy
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.