Panggilan Jiwa
Cerpen: Yant
Kaiy
Kakekku seorang ustadz. Ia mengajarkan cara membaca
Al-Quran yang benar pada para santrinya. Beliau juga mendidik mereka jadi insan
beriman kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW.
Sedang ayahku seorang kiai. Beliau sudah memiliki
pondok pesantren. Sebenarnya, ia melanjutkan warisan kakek. Karena satu
kebutuhan dan tuntutan, ayahku mendirikan lembaga pendidikan swasta mulai dari
RA, MI, MTs, dan MA. Para peserta didiknya lumayan banyak.
Ketika ada rekrutmen guru SD Negeri, aku ikut tes.
Ternyata aku lolos dan ditugaskan di sebuah pulau terpencil. Pulau ini berjarak
tempuh sehari perjalanan dari kota kelahiranku.
Rupanya aku masih belum bisa beradaptasi dengan
lingkungan baru tersebut. Aku begitu tersiksa dan menderita. Rasanya ingin
terbang saja ke rumah. Tapi apa kata dunia. Nasi sudah jadi bubur. Penderitaan itu harus dipendam sedalam
mungkin. Aku tak mungkin mencucurkan air mata di depan murid-muridku.
Disaat hati gundah-gulana tak keruan, satu solusi
terbaik menanggulangi itu semua, aku menyibukkan diri dengan berbagai
organisasi dan komunitas seni budaya setempat. Aku ikut perkumpulan seni hadrah,
shalawatan, tahlilan, istighasah…
Aku juga berkecimpung dalam kegiatan apa saja di balai
desa pulau tersebut. Sedangkan di organisasi kepemudaan, aku turut pula
mewarnai. Jadi hari-hariku selepas mengajar terus penuh kegiatan positif.
Disaat aku mulai menyatu hati dengan masyarakat
setempat, dan bisa menetralisir tidak kerasan itu, tiba-tiba ada surat
keputusan pindah ke daratan. Ya, aku harus tunduk pada keputusan.
Tanpa terasa, ternyata aku sudah tujuh tahun mengajar
di pulau tersebut. Dikala ikatan cintaku mulai tumbuh subur, aku mesti
hengkang. Duh, Gusti…
Di lingkungan baru walau diantara mereka banyak yang
kukenal, tanggung jawab sebagai pendidik masih tetap ada. []
Pasongsongan, 2022
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.