Air Mata Guru PAI Sumenep

Catatan: Yant Kaiy

Carut-marut rekrutmen guru PPPK 2022 di Kota Keris Sumenep, terdengar menyayat kalbu. Jika ada yang lebih menyakitkan; (mungkin) mencabik-cabik sekujur atma. Lantas diledakkannya tanpa sisa. Jadi debu.

Tumpang-tindih kebijakan dinas terkait menyeret emosi pekerja (honorer) ke laut tak berpantai. Tak bertepi. Semua jadi tak menentu. 

Meski ada secercah impian dalam balutan khayal. Itu hanya pada bagian tertentu saja. Tak tercover semua pernik aspirasinya. 

Berkali-kali penjaringan guru PPPK di kota ujung timur Pulau Garam Madura ini memberangus ampera guru honorer PAI. Meski dedikasi antara mereka dengan kelompok guru kelas/umum sama segi kualitas kerjanya. Mereka sebelas-dua belas.

Tapi guru PAI dianak-tirikan. Ditelantarkan. Mereka kian ditenggelamkan dalam lingkaran kebijakan Pemkab tak populis. Apalagi gema mereka tak terdengar. Kalaupun terdengar di telinga, itu hanya bisik-bisik tetangga.

Itulah vignet seorang guru Pendidikan Agama Islam (PAI) Sumenep: Mengajar SD/SMP lebih 15 tahun, gaji Rp 10.000,- per hari, naik sepeda motor pulang-pergi, di rumahnya mengerjakan tugas sekolah hingga larut malam, tak ada jaminan hidup layak. Apalagi tunjangan hari tua. 

Menyesakkan dada. Menguras air mata. 

Aset guru sukwan umumnya ada sebelum menikah. Menempati rumah mertua. Sepeda motor dibelikan kedua orang tua. Laptop dan hape android, warisan saat kuliah. 

Mereka tak menunjukkan derita ini di depan peserta didiknya. Biarlah... yang tahu hanya Tuhan. 

Setelah diwisuda bingung cari kerja. Boro-boro menciptakan lapangan kerja. Terpaksa jadi sukwan, guru honorer. 

Negeri ini tidak bisa menciptakan lapangan kerja. Pejabat pemerintah lebih mengutamakan kebijakan politik kelompoknya. Kalaupun terpenuhi, mereka baru melemparkan pada koncoisme partainya. Hm... 

Kendati mereka tahu, honor guru sukwan jauh lebih besar jadi kuli bangunan. Tiap hari kuli bangunan dibayar Rp 100.000,-  plus rokok dan makan bukan dari koceknya. 

Tembang "Terpaksa" Rhoma Irama jadi alasan guru PAI. Tiada pilihan lain. Mereka mendedikasikan ilmunya demi akhirat. Tetapi mereka bukan malaikat. Mereka punya anak dan istri taat.

Bahkan banyak diantara guru PAI tersebut usianya sudah lebih 50 tahun. Hanya menghitung hari, sebentar lagi jemari mereka menulis akan gemetar. Kacamata plusnya semakin tebal. 

Impian hari tuanya menyublim. Sungguh miris garis nasibnya. Lantas siapa yang bakal menanggung dosa ini?

© Yant Kaiy, Pimred apoymadura.com



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Soa-soal Bahasa Madura Kelas III

Therapy Banyu Urip: Kunci Sukses Ekspansi ke Luar Negeri

Rumah Sehat Gondotopo: Kombinasi Ramuan Tradisional dan Pijat Refleksi untuk Kesehatan Menyeluruh

Pertemuan KKG Gugus 02 Pasongsongan Dorong Branding Sekolah via Media Sosial

Soal-soal Bahasa Madura Kelas IV SD

Tiktoker Viral Deni Mana-mana Akan Berbagi Pencerahan di SDN Panaongan 3 Sumenep

Sapulan Resmikan Pelantikan Pramuka Penggalang Ramu dan Buka Perkemahan Jumat Sabtu (Perjusa) SMPN 1 Pasongsongan

Rapat Bulanan KKG Gugus 02 SD Kecamatan Pasongsongan: Workshop Pendidikan Inklusif di SDN Panaongan 3

Dua Siswi SDN Panaongan 3 Raih Juara di Kejuaraan Kids Athletics O2SN Tingkat Kecamatan Pasongsongan

Apa Itu Pendidikan Inklusif? Membangun Sekolah Dasar yang Menyambut Semua Anak