Cara Saya Mengolah Daun Kelor untuk Konsumsi Sehari-hari
Dari kecil hingga kini, urusan makanan bagi istri saya dianggap biasa-biasa saja. Tak ada yang istimewa. Tidak pernah ia mengidolakan makanan mahal, lezat, dan berkelas. Yang penting, sehat plus mengenyangkan perut. Itu saja.
Walau hidup istri saya sudah layak, tapi gaya hidupnya tak berubah. Selalu sederhana. Ajaran kedua orang tuanya; pengaruh sosial lingkungan tempat ia lahir dan tumbuh besar, yakni Kecamatan Pasongsongan Kabupaten Sumenep, mengisyaratkan supaya nafsu makan jangan diumbar.
Filosofi usang orang Sumenep yang masih relevan hingga detik ini mengatakan: "Odi' benni kaangguy ngakan, tape ngakan kaangguy odi'." (Bahasa Madura) = Hidup manusia bukan hanya untuk makan, akan tetapi makan untuk hidup manusia di dunia.
Rupanya filosofi tersebut sekarang berkarat. Lapuk. Alasan demi kemakmuran semua jadi kebablasan. Makan pun berlebihan. Rakus. Takut dirinya tidak kebagian. Segala cara dilakukan.
Tapi, pada Jumat istri saya membuat menu makanan sesuai keinginan selera. Entah itu rawon, sate Madura, gulai kambing, kadang juga masak nasi pecel.
Sebagian olahan makanan itu diberikan pada tetangga rumah. Tradisi Arabba, berbagi atau bersedekah makanan pada orang lain yang pahalanya diberikan pada keluarga atau untuk kedua orang tua.
Ada sesuatu tidak pernah ketinggalan. Setiap hari pasti ada di meja makan. Tidak bosan di lidah. Istri saya senantiasa memasaknya. Apa itu? Sayur daun kelor. Saban hari ada.
Bumbunya hanya bawang putih, kunci, dan garam secukupnya. Tapi selera makan kami tak pernah padam. Selera udik! Hehehe... []
©Yant Kaiy, Pimred apoymadura.com
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.