Stop Bullying pada Anak Saya
Catatan: Yant Kaiy
Anak sulung saya
saat ini ada di salah satu Pondok Pesantren (Ponpes). Alhamdulillah dia
kerasan. Tidak neko-neko. Ia mengenyam pendidikan formal di bangku SMP kelas
satu di kawasan Ponpes tersebut. Tetapi tetap saja saya khawatir akan
dirinya.
Khawatir perkembangan mentalnya jadi buruk. Cemas jiwanya tertekan. Takut teman-teman barunya di pondok "mengerjai" habis-habisan. Khawatir mengalami perundungan kembali seperti ketika ia masih duduk di bangku SD. Meski kemarin (Sabtu, 24/12/2022), istri saya telah bercerita pada pengasuh Ponpes tentang jati dirinya.
Dilema ini bukan saya besar-besarkan. Bukan karena dia perempuan. Bukan pula kami sebagai orang tua amat berlebihan mencemaskannya. Bukan...
Pikiran waswas itu berawal ketika dia masih duduk di bangku SD Negeri di wilayah Kecamatan Pasongsongan Kabupaten Sumenep. Saat itu dia masih kelas tiga semester ganjil. Peristiwa tak terlupakan itu terjadi tatkala kegiatan belajar-mengajar tengah berlangsung, anak saya sakit perut. Kebelet buang air besar.
Dia minta izin ke toilet sama guru kelasnya. Lalu dia ke ruangan guru mengambil kunci. Karena anak kuncinya banyak, ia bingung. Cukup lama ia memasukkan satu demi satu anak kunci tersebut. Ia terus mencoba. Daun pintu toilet masih belum terbuka. Dia tidak bisa menahannya lagi, ia pun buang air besar di celananya.
Ia menangis. Dia tetap berada di depan pintu toilet hingga bel istirahat berbunyi. Sontak semua murid berlarian mendekatinya. Bau kotoran (tahi) itu menambah keder bercampur malu. Mereka berjamaah mengolok-olok. Dia tak berkutik atas serangan "hinaan" tersebut.
Demi mendengar kabar jika anak saya buang kotoran di celananya, beberapa guru kelas menghampirinya. Mereka bergeming. Sebagian ada yang jijik. Tidak ada aksi peduli sebagai bentuk "pembelaan" kalau dia tidak bersalah. Semestinya sebagai seorang pendidik bisa menetralisir suasana dengan melakukan aksi pembelaan. Padahal kesalahan ada pada dirinya: Seharusnya tidak mengunci pintu toilet ketika jam masuk sekolah, atau anak kunci dipilah-pilah.
Salah seorang guru menuntunnya. Dia tetap menangis, menanggung perasaan malu. Secara kebetulan, saya melintas di sekolah tersebut. Bermaksud hendak ke pasar berbelanja.
Salah satu guru memberi tahu, kalau dia buang air besar di celananya. Segera saya bawa dia pulang, naik sepeda motor. Sampai di rumah saya mandikan. Ingin rasanya saya menangis, tapi air mata ini terus dibendung. Saya takut jiwanya kian tak menentu. Saya bela dia, bahwa itu bukan kesalahannya.
Saya tidak mengajukan bentuk protes kepada semua jajaran guru dan Kepala Sekolah. Walau hati ini kecewa. Toh, mereka memiliki hati untuk menimbang rasa – Andai ini terjadi pada anak saya, bagaimana perasaan saya…
Hari-hari berikutnya, dia sering mengalami bullying di sekolah. Ia takut bercerita kalau dirinya dibullying oleh teman-temannya. Katanya ada yang mengintimidasi. Istri saya acapkali menerima laporan dari teman sekolahnya, kalau ia acapkali menangis akibat bullying.
Karena terpaksa, Saya lalu meminta pada Kepala Sekolah untuk memberi perhatian serius terhadapnya. Secara rinci saya ceritakan apa adanya. Sang Kepala Sekolah tak percaya, karena menurutnya dia biasa-biasa saja, bergaul dan bermain dengan teman-temannya.
Mungkin fisiknya biasa-biasa saja, tapi psikisnya lagi tertekan -- sanggah hati ini.
Semoga kedepan
tidak terulang peristiwa menyedihkan seperti anak saya.[]
©Yant Kaiy, Pimred apoymadura.com
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.