Kenapa Birokrasi Indonesia Ribet
Catatan: Yant Kaiy
Pekan
ketiga Juli 2023, saya bersama teman bertemu Hairul Anwar di kantornya, CV
Madura Energy Sumenep. Ia salah seorang pengusaha sukses yang lahir dan besar
di Pasongsongan Sumenep. Ada kalimatnya menyentil telinga tatkala perbincangan
kami berlangsung.
“Indonesia negara besar dan
bermartabat tinggi. Banyak negara besar sungkan terhadap bangsa ini. Tapi itu
dulu. Sekarang kondisinya berbeda. Uang bertakhta di semua sendi birokrasi
kita.”
Petikan
kalimat itu membuka lebar mata kita. Saban hari kita selalu disuguhkan berita
tindak kejahatan yang dilakukan pejabat penting di negeri ini. Sirna rasa malu
di jiwanya. Prinsipnya, mungkin, dosa urusan akhirat.
Sumpah
jabatan hanyalah formalitas belaka. Sebagai legitimasi diri berlaku
sewenang-wenang nanti. Kongkalikong menyingkirkan rival. Suap, korupsi, pungli
merajalela. Tak ada kamus sungkan pada dirinya.
Bahasa
politik jadi bodyguard. Membeli hukum untuk membersihkan nama besarnya. Janji
palsu dihembuskan ke segala penjuru. Budaya malu tidak lagi jadi pakaiannya.
Mereka
berkoar-koar; kita tidak boleh pesimis menatap masa depan. Ini bahasa klise
untuk menguatkan opini publik, bahwa dirinya is the best. Praktiknya berbanding
terbalik. Nurani tak bisa dikamuflase.
Jual
beli jabatan bukan rahasia lagi. Ada uang langsung terbang, lolos seleksi, jadi
abdi negara. Setelah jadi pejabat, konsekuensinya kembalikan modal. Persulit
urusan birokrasi.
Agitatif
Artikel
ini bukan ingin mengompori frustrasi warga di penjuru nusantara. Tujuannya
semata-mata ingin menyadarkan diri saya pribadi. Sebagai orang beragama, kita
percaya bahwa kelak ada hari pembalasan atas segala amal perbuatan.
Kalaupun
Anda seorang ateis, tak mungkin pohon mangga berbuah pisang atau kedondong.
Hukum kausalitas di muka bumi fana ini tetap berlaku.
Tak
mungkin perbuatan jahat berakhir manis. Paling tidak endingnya mendekam dibalik
jeruji besi. Bisa jadi didor timah panas polisi.
Lalu
apa warisan kita terhadap bangsa tercinta? Gajah mati meninggalkan gading,
harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama. Kita berada
di posisi mana.
Mungkin
lebih sempit, anak-cucu adalah generasi penerus sejarah. Coretan tinta itu akan
abadi, tak aus karena kekayaan kita.
Putar
haluan pemikiran, bahwa cinta harta dan takhta merupakan cobaan.
Mudahkan
urusan orang lain. Bukan karena uang lalu Anda bedakan sesama. Sudah banyak
cermin di sekitar kita. Urusan birokrasi di kantor pemerintah dan swasta
acapkali ribet dan berbelit-belit. Menyita waktu, tenaga dan pikiran. Memangnya
mereka tidak punya pekerjaan.[]
- Yant Kaiy, Pimred apoymadura.com
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.